Activita.co.id- Pengibaran bendera One Piece di berbagai penjuru negeri bukan sekadar tindakan iseng anak muda yang tengah tergila-gila pada sebuah anime. Di balik kain bercorak tengkorak dan dua tulang bersilang itu, tersimpan simbol perlawanan diam dari generasi yang merasa dikhianati oleh negaranya sendiri. Tindakan ini bisa dibaca sebagai bahasa alternatif ketika suara tidak lagi didengar dan kritik dibungkam dengan berbagai dalih yang mengebiri nalar sehat.
Fenomena ini bukan muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari kekecewaan kolektif terhadap ketimpangan sosial, kebijakan yang tak berpihak, hingga situasi politik yang tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat. Ketika harga-harga naik tanpa kendali, ruang kerja semakin sempit, kebebasan sipil terkikis, dan pejabat publik sibuk membangun citra ketimbang memberikan bukti nyata, maka jangan heran jika generasi muda memilih “bendera bajak laut” sebagai simbol pemberontakan (protes) mereka.
Mereka tidak membawa senjata, tidak membakar gedung, apalagi menjarah. Yang mereka lakukan hanyalah mengibarkan sehelai bendera fiksi di atap bangunan, tiang jalan, bahkan kendaraan di jalanan. Tapi justru di situlah letak ironi dan kekuatan aksi ini: diam, tapi menggema; jenaka, tapi menggugat. Ia menyuarakan ketidakpuasan dengan cara yang tidak bisa diadili oleh pasal-pasal usang yang sering kali digunakan untuk membungkam kritik.
Sayangnya, alih-alih dibaca sebagai kritik sosial, pengibaran bendera ini justru direspons secara berlebihan oleh sebagian pihak. Alih-alih membaca aksi ini sebagai ekspresi simbolik atas kegelisahan generasi muda terhadap situasi sosial yang timpang, negara justru meresponsnya dengan paradigma berlebihan. Sebagian pihak menganggap pengibaran bendera fiksi itu sebagai ancaman terhadap kesatuan nasional, bahkan menudingnya sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara. Mereka membangun narasi seakan-akan rakyat tengah melakukan tindakan subversif, padahal rakyat hanya mengangkat simbol imajiner yang mewakili semangat perlawanan terhadap ketidakadilan yang selama ini mereka abaikan.
Negara ternyata lebih takut pada suara-suara kecil yang mencoba berbicara dengan cara yang tak biasa daripada pada ancaman nyata. Padahal, para pengibar bendera itu hanya menunjukkan cermin: merefleksikan wajah bangsa yang kian kehilangan arah.
Baca Juga: Produk Lokal Resmi Diluncurkan, Mahasiswa KKN FEBI UIN Madura Edukasi Warga Tentang UMKM
Lebih menyedihkan lagi, beberapa elit negeri ini dengan enteng menganggap fenomena ini sebagai “ulah anak-anak yang kurang kerjaan.” Pernyataan semacam itu menunjukkan betapa jauhnya mereka dari denyut kegelisahan generasi muda. Mereka lupa, bahwa One Piece sendiri bukan sekadar kisah tentang bajak laut, melainkan narasi tentang perlawanan terhadap tirani, solidaritas, dan pencarian keadilan di tengah dunia yang penuh korupsi dan penindasan. Jika hari ini orang-orang mengibarkan bendera itu di bumi nyata, mungkin karena mereka merasa fiksi lebih adil daripada kenyataan.
Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang kritik formal semakin mengecil. Penguasa mengkriminalisasi demonstrasi, menganggap suara rakyat sebagai gangguan, dan membungkam media secara halus melalui berbagai tekanan. Dalam situasi seperti ini, ekspresi alternatif menjadi saluran terakhir. Bendera bajak laut itu menjadi medium untuk menyuarakan frustrasi sekaligus harapan: bahwa masih ada anak muda yang peduli, yang sadar, yang tidak mau tunduk pada sistem yang tidak berpihak pada rakyat.
Namun yang paling menyesakkan adalah diamnya mereka yang seharusnya berdiri di pihak kebenaran. Ketika akademisi memilih bungkam, aktivis senior kehilangan nyali, dan tokoh masyarakat sibuk menjaga posisi, maka generasi muda terpaksa berbicara dengan simbol. Mereka tidak lagi percaya pada kata-kata orang dewasa, karena janji dan moralitas palsu terlalu sering mengkhianati mereka. Maka jangan salahkan mereka jika memilih simbol bajak laut daripada lambang negara. Sebab dalam dunia One Piece, bahkan seorang buronan pun bisa lebih jujur daripada penguasa. Di dunia kita hari ini, kejujuran menjadi barang langka yang sulit dicari di podium-podium kekuasaan.
Oleh karena itu, sebelum sibuk memberangus ekspresi mereka, mari kita tanyakan pada diri sendiri: negeri macam apa yang kita bangun hingga generasi mudanya merasa perlu mengibarkan bendera pemberontakan fiksi sebagai penanda bahwa ada yang salah? Karena jika bendera bajak laut saja lebih mampu mewakili rasa keadilan dan harapan, maka boleh jadi yang fiktif bukan hanya benderanya melainkan demokrasi dan keadilan itu sendiri. (Hasbi/Activita)