Klung… klung…!!
Handphone dihadapanku bergetar. Saat itu aku berada dilingkaran sebuah acara baru dan tentu juga dengan orang-orang yang baru. Aku lihat terdapat notif seseorang yang kontaknya sudah tersimpan di HP ku dan orang itu ada dalam lingkaran tersebut. Dalam kolom chat tertera bahasa salam dan memperkenalkan diri dengan nama panggilan Zen.
Aku rasa dia sebelumnya pernah menghubungi ku via WhatsApp, tapi dia tidak mengingatnya, mungkin karena faktor kuliah daring mulai masuk kuliah sampai semester berikutnya.
“Win dimana Rumahmu?” Teriak Zen dari arah samping sepeda motorku yang sedang melaju dalam perjalanan pulang.
“Ke arah Jalan ini,” jawabku dengan keras, karena kita sudah dijalan beda arah.
Sore itu saat aku sampai dirumah dan beristirahat.
Klung…!!
Lagi lagi notif dari orang yang sama “Sudah sampai dirumah win?”
“Iya sudah,” jawabku dengan singkat
Dari sinilah komunikasi kita berlanjut dengan berbagai macam suasana, terkadang saling menjatuhkan, memperdebatkan sesuatu, bercanda tawa hingga kita saling berbagi pengalaman dan sharing tentang tugas perkuliahan.
Sabtu pagi kita kebetulan ada acara yang jalannya satu arah tapi beda tujuan. Jadi kita memutuskan bareng dengan sepeda motor berbeda. Hari mulai sore. “Winda kapan kamu mau pulang?”
“kayaknya aku pulang agak malam zen, soalnya acaraku belum selesai”
“Yasudah nanti kalau mau pulang kabarin aku ya win,” dengan nada menawarkan pulang bareng.
“Loh, tidak apa pulang duluan Zen, nanti aku pulang sendiri,” jawabku dengan terpaksa, karena disatu sisi aku takut merepotkan Zen, disisi lain aku merasa takut pulang malam sendirian.
“Enggak, tidak apa nanti pulang bareng, kamu loh cewek tidak baik pulang malam sendirian, bahaya,” balas Zen dengan meyakinkan.
Mulai hari itu kita merasa nyaman, merasa cocok. Hingga tiba masanya kita menjalani hubungan yang hanya berdasarkan cinta dan sayang.
“ Ayo Winda terbukalah padaku apa yang terjadi sebelumnya padamu,” kata Zen dengan nada tegas. Aku perlahan mulai terbuka. Namun, tidak semua hal aku ceritakan padanya karena Zen belum tentu garis takdirku yang berhak mengetahui tentang kehidupan ku.
Banyak masalah yang datang dalam hubungan kita, bahkan terkadang masalah datang dari rasa emosional kita berdua. Dengan berbagai cara kita hadapi dan berbagai rasa ego kita lawan. Zen tipe orang yang mungkin tidak mudah aku fahami, karena setiap masalah yang datang, akulah yang bertanggung jawab atas semuanya.
“Win aku kecewa denganmu, kamu sudah 3 kali membohongiku, bukankah aku sering mengatakan kunci dari sebuah hubungan yaitu kejujuran,” Ucap Zen dengan nada kecewa dan kesal.
“ Zen maafkan aku yang sebesar-besarnya, aku melakukan semua ini ada alasan tertentu dibalik semuanya,” dengan suara isak tangis penyesalan.
Malam itu hanya terdengar senggukan tangis diatas ranjang dengan headset ditelinga, aku tak bisa mengontrol emosionalku setelah menceritakan semua masa laluku yang kotor dan memalukan.
“Win aku nerima masa lalumu, tapi aku tidak bisa menerima kebohongan yang telah kau lakukan berkali-kali dengan alasan apapun.”
“Zen, maafkan kesalahanku.”
“Winda saat ini pun kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku, firasatku mengatakan.”
“Tidak Zen, ini sudah titik kejujuranku,” kataku dengan meyakinkan Zen.
“Winda kalau kamu tidak mau menjelaskan semuanya, dengan berat hati saya akan memutuskan hubungan ini.”
Zen kekeh dengan firasat dan keputusan nya, hingga dia memilih untuk meng akhiri dan melepaskanku.
“ Zen apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya, katakan,” dengan tangisan yang semakin tak terkendali.
“Tidak Winda, aku sudah komitmen dengan keputusan ku, mungkin kau bukan garis takdirku, terimakasih buat semuanya.”
Kita saling meminta maaf dan memaafkan satu sama lain. Malam itu aku menyesali segalanya, aku kehilangan warna dalam hidupku, seseorang yang memberiku banyak pelajaran ketika aku salah telah melepaskanku dan semua sosial media yang berhubungan dengannya di blokir secara tiba-tiba.
Fikiran dan hati berkecamuk tak terkontrol, tak henti-hentinya menyalahkan diriku sendiri sampai larut malam dan berusaha memejamkan mata selepas berdoa.
Jam 03:20 alarm HP ku berbunyi sehingga aku terbangun, bergegas wudhu’ untuk shalat malam dan mencurahkan semua masalah yang telah aku hadapi, salah satunya perihal Zen. Alhamdulillah hati ini merasa tenang dan mengurangi rasa bebanku. Disinilah aku berusaha mengambil hikmah dari semua yang terjadi, aku memutuskan untuk mendekatkan diri pada Allah dan fokus untuk memperbaiki diri.
3 hari berlalu tanpa komunikasi seperti sedia kala, aku murung dalam kamar berusaha melupakan semuanya, namun, semakin keras saya mencoba melupakan, semakin kuat fikiran ini di grogoti tentang nya hingga membuatku lemah dengan air mata yang tak direncanakan.
Hari cepat berlalu dengan semua keikhlasan, dan kepasrahan. tak terasa 2 tahun kita menjalani hidup layaknya seorang teman biasa yang tidak pernah menjalani cerita asmara. Namun, kita masih saling menyimpan rasa, tapi enggan untuk ditampakkan, kita pasrahkan semua pada sang pencipta dan yakin jika kita berjodoh pasti akan bersatu dalam kondisi apapun. Bulan April kita menyelesaikan Sarjana di kampus yang sama.
“Pak, Buk, kedatangan saya Zen Abdullah dan orang tua kesini tiada niat lain, melainkan ingin meminang putri pertama bapak Windana Fadilah, akankah bapak, ibuk mengizinkan Winda menjadi calon istri saya?” Tutur Zen dengan suara tegas dan sopan.
“Alhamdulillah, untuk perihal ini saya pasrahkan pada Winda, karena nantinya dia yang akan menjalani kehidupan dengamu.” Jawab Bapak
“Saya akan tanyakan dulu ya ke Winda, karena dia yang berhak memutuskan,” tutur ibu dengan beranjak menuju kamar.
Karena Aku seorang pemalu, jadi enggan untuk keluar jika ada tamu, lebih memilih dikamar sampai tamu pulang.
“Nak winda diluar ada tamu yang berniat serius meminangmu, nama anaknya Zen Abdullah.”
“Haaa Zen Abdullah buk? Seperti apa orangnya?” dengan nada kaget dan penasaran, akankah Zen yang dulu ku kenal berani datang kerumah untuk serisus.
“Iya win dia tadi menyebutkan namanya Zen Abdullah, cobak intip di balik pintu siapa tau kamu kenal.”
Aku pun berusaha melihat orang tersebut dibalik pintu tanpa sepengetahuan.
“Masya Allah buk, aku mengenalnya, dengan izin Allah saya menerima lamaran dari dia,” jawabku dengan wajah sumringah, Alhamdulillah yang selama ini aku sebut dalam doaku datang kehadapan orang tuaku Terimakasih Ya Allah.
Berlangsunglah Ta’aruf kita selama satu bulan, mempersiapkan satu sama lain yang akhirnya kita memutuskan untuk ke jenjang lebih baik yaitu menikah.
Tak semua sesuatu yang menjadi takdir kita perjalanan nya dipermudah, Serumit apapun hal yang terjadi dalam hidup ini yakinkan semuanya pada sang maha kuasa. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak kita ketahui.
Activita.