Sepulang dari sekolah, aku masuk kamar dan mengunci pintu kamar. Hatiku hancur mendengar kabar dari orang tuaku, bahwa mereka telah mengajak Azzam, anak kedua abiku dengan almarhumah istri keduanya untuk tinggal serumah dengan kami.
Jujur, selama ini aku belum mengenal adik tiriku. Ummi pernah bilang, usia Azzam berjarak dua tahun denganku, dia anak yang salih dan pintar. Tetapi, aku tidak menyayanginya. Bahkan, mendengar namanya saja sudah membuat emosiku melonjak. Kemudian, kudengar suara ummi dari depan pintu kamarku, “Bal … ! Abi dan Ummi mau menghadiri undangan sebentar, ya. Kamu tolong jaga Azzam, ya Nak!” Aku tidak membalas ucapan Ummi. Aku tidak peduli dengan Azzam karena yang kuinginkan saat ini, adik tiriku harus pergi dari kehidupan dan keluargaku.
Beberapa menit kemudian, hujan turun sangat deras disertai dengan suara petir yang menggelegar. Hujan ini membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya guna melepaskan segala kegelisahan, ketakutan, dan kebencian yang menghampiri. _Mood_ -ku semakin tidak bersahabat saat mendengar panggilan dari sosok yang kubenci, “Kak Iqbal … ! Azzam takut, Kak. Suara petirnya keras sekali ….” Azzam menangis di depan pintu kamarku. Aku tidak mempedulikannya. Namun, tambah lama, suara tangisannya berhasil menggangguku. _”Anak itu sangat cengeng,”_ gumamku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membuka pintu kamar dan berniat memarahinya. Setelah pintu kamar dibuka, niatku terhenti, sebab terkejut melihat wajahnya. Fisiknya juga tidak sempurna seperti yang kubayangkan. Pikiranku kembali mengingat kejadian dua hari lalu, seorang bocah laki-laki mengorbankan nyawanya demi diriku yang waktu itu hampir ditabrak mobil. Tidak butuh waktu lama, aku langsung memeluk bocah laki-laki tersebut yang saat ini telah berada di depanku. Tapi sayang, dia hanya bisa tersenyum tanpa bisa melihatku.
Oleh: Madania Khalifah