Activita.co.id- Jauh sebelum hari penerimaan prajurit dibuka, ibu telah sejak lama memeriksa senjatanya sendiri. Ia tidak mengizinkan orang lain untuk membantunya menyiapkan segala yang ia perlukan, kecuali, hanya melihat dari jarak jauh. Aku menjadi orang yang paling sering memperhatikannya, paling dekat dan paling cerewet menanyakan kenapa ibu harus menyiapkan senjatanya sendiri? Kenapa ibu harus memiliki senjata sendiri? Kenapa? Kenapa ibu sendiri?
Aku menghafal jawaban ibu di luar kepala, tapi aku selalu ingin mendengarnya. “Perempuan pendek akal, sempit rasa. Mudah memutuskan mudah merasakan. Sebuah pedang hanya senjata pembantu untuk melindungi mu dari serangan musuh,” ibu menarik sebuah pedang, mengarahkannya pada semesta,
“Senjata utama adalah pikiran yang jernih dan hati yang tawar agar kau terlindung dari dirimu diri-sendiri,” katanya.
—-
Hari ini, penerimaan prajurit kerajaan Utara. Kerajaan semata wayang yang lahir dari pertikaian dua kelompok putera bumi dengan satu kelompok penakluk dari arah matahari terbit; nenek moyangku.
Ibu memimpin kerajaan ini dengan mimpi-mimpi yang menyala dalam setiap langkah kakinya, ia menyimpan harap pada setiap tanah yang ia pijak. Mencoba menerka dan mengurai sendiri amarah dari banyak pihak, menelan getir sendirian. Pada sudut-sudut malam paling hening, ibuku merayapi jangkar hatinya sendiri, mengurai simpul-simpul mati pada akal fikiran nya. Sendirian dengan tarikan nafas yang lamban.
Ibu sering kesulitan menakar hatinya menjadi kalimat pengantar. Ia kesulitan membagi renungannya dalam bentuk uraian kalimat lengkap. Karena itu, kadang-kadang prajurit Kerajaan Utara tak sepenuhnya mampu menerka bunyi kepak sayap dari keheningan yang ibu kirim, sunyi pekat di sela-sela kalimat yang ia susun sejak kemarin, harapan terakhir yang ia lukis dalam tatapannya yang berjarak, kegetiran yang tersirat begitu saja.
—–
Dalam masa kepemimpinan ibuku, ada seorang prajurit yang sigap-sedia menerima perintah. Akhirnya, tersebar berita bahwa Ratu Ni Ketut Sungowati memiliki prajurit andalan; Jaka Patih. Jaka Patih dikenal sebagai orang kepercayaan ibu, menjelma menjadi sosok yang begitu dekat dengannya. Namun ibu tak pernah mengizinkan Jaka Patih memegang Plat Dzin milik Kerajaan. Plat yang dianggap mewakili kekuasaan ibu jika ia tidak ada di kerajaan. Siapapun pemegangnya, maka ia berhak mengambil keputusan tanpa persetujuan ibu.
Jaka Patih, mulai menebar racun keangkuhan sebagai Putera prajurit kesayangan Maha Ratu. Tapi tak sekalipun Ibuku membanggakannya di depan para raja, menyebut namanya di depan khalayak, tak sekalipun, meski berita mengenai Jaka Patih telah menyebar luas seantero negeri padjadjaran. Sampai suatu waktu aku bertanya, “Maafkan hamba, maha Ratu. Izinkan hamba bertanya, siapa sebetulnya Maha Patih?,” ibuku, berdiri di pinggir jendela kerajaan, mengintip masa depan negerinya, “Seseorang yang ingin mengambil sepotong hati dengan menjual kesalahan banyak orang, dan, aku, adalah bagian dari kesalahan yang ingin ia jual,” kata ibu. Aku tak paham betul maksudnya. Tapi aku tau, waktu mungkin akan membuat semuanya mudah dicerna.
—–
Enam tahun berlalu, tiba-tiba Jaka Patih telah membentuk kelompok pemberontak. Semua orang terkejut, tapi tidak dengan ibu. Aku was-was menunggu, tapi juga tenang karena aku tau ibu lebih dari sekedar yang bisa aku bayangkan. Ia dingin, tapi hangat di lain sisi. Semua orang menunggu keputusan ibu, sampai ia mengeluarkan titah dengan plat Dzin di tangannya.
“Kembalikan Maha Patih pada Tuhan penciptanya,” orang-orang yang termakan kelicikan Maha Patih mengiba pada ibu agar ia dihukum cambuk saja, tapi ibu menjawab dengan tegas “Keputusan seorang pemimpin tidak boleh patah atas pertimbangan hati yang tak lengkap dan pikiran yang tak rampung,” aku mendengarkan dan mencerna dibalik tirai setiap kalimat yang ibu keluarkan.
“Ular yang berbisa kalaupun diambil bisanya, ia tetap hewan pemangsa, suatu waktu siap membunuh dan menerkam siapapun,” semua orang diam menunggu, “Kalaupun dibuang di hutan belantara, ia bisa kembali dengan puluhan ular lain, maka biar jasadnya keluar dari istana tapi ruhnya sampai pada Tuhan,” mendengar itu, aku mengerti kalimat ibu waktu itu, aku mengerti siapa Maha Patih di hati ibu. Bahwa yang tertakar bukan jarak bumi pada langit, tapi jarak hati pada pemiliknya. (Via/Activita)