“Ih, aku mirip Syahrini. Hihihi.”
Dia mengoles gincu merah glossy. Sengaja dia plesetkan sedikit ke pipi.
Dia cekikikan lagi, “Hihihi, pasti Bang Ramli suka. Dan merayuku dengan puisinya, ‘Bolehkah aku menghapus noda gincu di bibir dan pipimu dengan bibirku?’”
Dari balik celah tirai di kamarnya, Sri menatap lelaki yang berjalan kaki di gang sepi, rambutnya rapi, jaketnya kulit sapi.
“Ih, itu Bang Ramli. Dia ganteng sekali.”
Sri grudak-gruduk merapikan segalanya dan menyemprot kamar dengan minyak wangi
aroma melati yang dia beli di pasar pagi. Lalu keluar menemui Bang Ramli dengan senyuman manja mirip Miyabi. Ramli memang romantis sekali, kata-katanya puitis. Ucapan yang manis-manis meluncur dari balik kumisnya yang tipis.
Tanpa basa-basi Sri menggiring Ramli ke ranjang.
“Abang bawa ga?”
“Bawa dong, Sayangku.”
“Rasa apa? Stroberi lagi?”
“Ga dong. Ada rasa baru.”
“Apaan tuh? Jadi penasaran … ”
“Ini dia, rasa ayam bawang!”
“Hah? Itu kondom apa mie instan sih, Bang?”
“Kondom lah, Sayang.”
“Ayo lah … ”
“Lah ayo … ”
Gempa ringan skala lokal menggoncang ranjang, membangunkan kecoa-kecoa yang sedang mimpi basah di hari akil balignya.
Pertarungan usai, tiga babak selesai, mereka terkulai.
Ramli tidur nyenyak di lantai. Sri pelan-pelan bangun, merayap seperti pencuri ke arah tong sampah. Dia mengambil kondom yang sudah dipakai, dan melangkah ke kamar mandi.
Deras suara kucuran air kran beradu dengan isak tangis Sri. Dia menatap kondom bekas yang sudah dipakai itu. Sri berbisik dalam hati,“Bang, inilah saatnya. Kau tak boleh permainkan aku terus. Sudah Tiga tahun tiga bulan dua puluh hari, aku hanya kau pacari, tubuhku hanya kau nikmati. Mungkin sebentar lagi kau pergi lari karena aku tidak cantik lagi.
Bang ini saatnya aku kau nikahi. Meski harus dengan jalan seperti ini.”
Derai air mata membasahi pipi Sri, menetes di ikatan kondom yang sedang ia buka. Sperma Ramli ia masukkan ke dalam kemaluannya.
“Ya, Tuhan. Biarkan anak ini jadi.”