Menu

Mode Gelap
HMPS Ekonomi Syari’ah Adakan Entrepreneurship Workshop Semarak Bulan Bahasa, HMPS TBIN Adakan Pemilihan Duta Bahasa Indonesia IAIN Madura Gelar Pisah Sambut Kabiro AUAK IAIN Madura Tidak Masuk 3 Besar Kampus Terbaik di Madura Versi Kemendikbudristek RI Dianggap Tidak Mendidik, Konten IMTV Mendapat Kritikan

opini · 20 Des 2018 06:56 WIB ·

SIMALAKAMA POLITIK KAMPUS


 SIMALAKAMA POLITIK KAMPUS Perbesar

Minggu (16/12) kemarin, beberapa mahasiswa melakukan demonstrasi menolak kedatangan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muchammad Romahurmuziy di IAIN Madura. Aksi penolakan tersebut dalam rangka sterilisasi kampus dari nuansa politis, seperti dilansir portalmadura.com.

Gus Romy, sapaan akrab Romahurmuziy, rencananya akan mengisi Pembinaan dan Pemantapan 4 Pilar Kebangsaan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Wilayah Kerja (Wilker) Madura bersama Plt. Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin di Auditorium Center IAIN Madura.

“Politisi dan kegiatan kampanye tidak boleh masuk kampus, makanya kami menolak kedatangan Romy. Kami tidak menginginkan IAIN Madura rasa politik praktis. Politikus harus ditolak masuk kampus,” terang Korlap Aksi, Adi Karduluk, seperti dilansir dari koranmadura.com.

Atas desakan yang tak kunjung menemukan solusi, akhirnya acara yang digelar Kementerian Agama Kabupaten Pamekasan tersebut dipindah ke Aula Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Pamekasan. Usai mengisi acara, Gus Romy langsung menuju Hotel Front One Pamekasan, untuk menghadiri acara konsolidasi PPP.

Idealnya, persoalan perpolitikan di kampus bukan sesuatu yang sama sekali baru. Menegasikan percaturan politik di kampus adalah sesuatu yang mustahil. Bahkan, dalam tataran esensial-substantif, sebenarnya penolakan terhadap sesuatu yang dianggap politis juga merupakan sesuatu yang politis, dalam konteks tertentu.

Hanya saja persoalannya tidak sesederhana itu. Mensterilkan kampus dari politik praktis adalah sesuatu yang utopis, kecuali sterilisasi yang dimaksud adalah dalam lingkup eksternal. Faktanya, dalam internal kampus, politik praktis adalah sesuatu yang legal. Semua elemen di dalamnya mustahil tidak pernah terlibat.

Kita telah melihat bahwa alur birokrasi kampus sarat dengan politik. Bahkan dalam taraf yang tidak bisa disebutkan di sini, secara faktual politik kampus tidak ada bedanya dengan perpolitikan eksternal. Itulah yang saya maksud bahwa sama sekali menolaknya tidak lebih dari sekadar tindakan apologis. Idealnya, persoalan itu adalah keniscayaan.

Kendatipun demikian, aksi yang dilakukan sebagian mahasiswa itu ada benarnya juga. Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri, bahwa acara tersebut kentara politis. Persoalannya bukan karena Gus Romy sebagai koalisi petahana, melainkan karena kampus yang seharusnya menjadi sarang idealisme, khawatir diikutsertakan sebagai panggung politik.

Dengan segala prototipe negatifnya, alur perpolitikan memang merupakan sesuatu yang penting diwaspadai. Bukan untuk mengabaikannya, melainkan menghindarinya dari tempat yang tidak semestinya. Bukan untuk bertindak buta terhadapnya, justru sebagai langkah dari idealisme itu sendiri. Bahwa politik merupakan sesuatu yang penting, tidak ada yang menyangkal. Tetapi pragmatisme berada pada ranah yang tak selalu menguntungkan.

Melihat fakta itu, politik kampus sejatinya dihadapkan pada situasi dilematis paradoksal. Di satu sisi, politik kampus adalah sesuatu yang lumrah dalam tataran internal. Tetapi di sisi lainnya, ia mesti menampakkan taring idealisme dalam menyikapi politik pragmatis. Semacam terjadi turbulensi antara idealisme mahasiswa, politik birokratis kampus, dan pragmatisme perpolitikan eksternal.

Agar tidak mengambang, di sini saya akan kemukakan contoh. Birokrasi kampus, misalnya, memerlukan dukungan eksternal. Segala persoalan elektif organisasi internal berjalan secara demokratis, tetapi dukungan organisasi eksternal memiliki peran signifikan. Supremasi eksternal amat krusial posisinya dalam politik internal.

Dalam konteks itu, jika kita tarik secara egaliter antara organisasi eksternal itu dengan eksternalitas politik yang menjadi sumber aksi penolakan Gus Romy, maka keduanya memiliki peran yang sama. Keduanya sama-sama menjadi mesin elektoral, meskipun ranahnya berbeda. Organisasi eksternal sebatas dalam lingkup lokal, sementara yang ditentang dalam aksi tersebut berusaha menancapkan elektabilitas perpolitikan Nasional.

Barangkali, yang dapat dijadikan solusi adalah idealisme mahasiswa, sebagai salah satu titik turbulen yang saya sitir sebelumnya. Dalam hal ini, sikap idealis ditunjukkan sebagai kepekaan sosial setiap mahasiswa terhadap pragmatisme birokratif kampus. Perbaikan sistem menjadi acuan penting dan solutif, dan pembenahan kolektif menjadi aspek implementatif dari idealisme itu sendiri. []

Ahmad Khoiri (Redaktur Pelaksana Majalah WARTA)

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Post Power Syndrome

6 Juni 2024 - 04:03 WIB

Adakan Pekan Berkah 2024, UPZ IAIN Madura sertakan Bazar dalam rentetan kegiatan.

Organisasi Kampus Sebagai Sarana Pendidikan Politik atau Ajang Perebutan Kekuasaan?

26 Mei 2024 - 14:45 WIB

Opini 26 Mei 2024

Kuliah: Nongkrong dengan Gaya

7 Mei 2024 - 03:36 WIB

Opini Anggota Magang LPM Activita

Politik Sakit Hati dalam Organisasi Kemahasiswaan Perlu Dihindari

23 April 2024 - 14:35 WIB

Catatan Usil Untuk LPM Activita

21 Februari 2024 - 00:38 WIB

LPM Activita

Apa Yang Salah dari Alat Kelamin Yang Tidak Menonjol

22 Juni 2023 - 04:37 WIB

Trending di opini