Waktu lalu dunia seakan berhenti berputar, ruang-ruang terasa sempit menyesakkan membuat kau harus mencari sumber udara. Kau tidak sedang patah hati ataupun berduka sebab kehilangan seseorang ataupun sesuatu yang teramat dibanggakan. Namun, kau kehilangan jati diri yang sebenarnya sebagai manusia, mengesampingkan titah yang seharusnya dilaksanakan. Terlalu abstrak sekali hidupmu. Kepakan sayap induk burung saja masih belum bisa membuatmu tumbuh dan tangguh, ayam yang berkokok di waktu fajar menyingsing saja belum bisa membangkitkanmu dari kelambu hitam kehidupan, dan yang lebih parah kau kehilangan kesadaran.
Hei, kau tidak semenderita itu! Bagaimana bisa kendali hatimu dibiarkan terkoyak hanya karena gersangnya kepercayaanmu terhadap ketetapan-Nya? Bagaimana bisa kesempatan bernafas tak pernah kau hitung sebagai peduli-Nya terhadapmu? Oi, bahkan dengan bangganya kau menafikkan kenyataan, beranggapan bahwa argumenmu paling benar, bergairah penuh makna.
Dibalik kehilangan jati diri, banyak sekali akibat yang ditimbulkan, tak terhitung perkara receh yang dilibatkan sebagai bagian dari kebutuhan. Tinggalkan apapun yang tidak menjamin masa depan, apapun yang dapat merusak hidupmu, apapun yang menyebabkan luka batin, apapun yang bersifat halu, apapun yang membuat mentalmu retak terkoyak, dan apapun yang menjadikan mu sebagai tempat singgah bagi harapan-harapan yang menuai pesakitan. Karena pada hakikatnya seluruh kebahagiaan hanya bersumber dari sang pemilik raga, dan rasa, sandarkan pada-Nya tak usah risau perihal doa yang kau lambungkan ke langit, terkabul, percayalah dengan hati lapang, sebab ummat-Nya bukan kamu saja.
St. Maizah