Bayangan diri terpantul pada cermin yang enggan berbisik meski sebatas ilusinasi. Ia nampak sendu dengan garis mata yang kian menggelap. Aku mencoba untuk menertawainya, namun miris ketika mengingat bahwa bayangan itu adalah kondisi diriku saat ini. Aku beranjak menuju kamar mandi. Mengguyur tubuh dan berusaha mengusir segala penat, lelah, dan sakit bersama dengan setiap air yang mengalir. Pikiran sempat terasa tenang, karna hanya dingin segar yang kini bersarang. Namun semuanya kembali pada posisinya semula usai diri telah siap menerjang pagi. Totebag putih yang bergantung di pundak kanan saat ini jauh lebih tidak berat dibanding beban yang bertengger di kedua pundak setiap hari. Ah, ini masih pagi untuk memulai semua curahan hati yang kian menggerogoti apabila tidak dibagi.
Serupa sayap, dua takdirku di pundak kanan dan kiri mengepakkan dirinya masing-masing. Berjalan menuju lalu-lalang waktu yang masih terlalu dini. Aku ingin membagi secawan dua cawan rintih pada setiap orang yang kutemui di jalan. Bukan bermaksud berbagi sakit, namun untuk memperlihatkan pada mereka ada jiwa yang tak sepenuhnya kuat berusaha tegar berpijak pada garis Tuhan, juga pada dunia yang sudah sedikit tertawa sinis. Di sepanjang jalan ini, kupandangi langsung bagaimana jalan setapak mengerami banyak kisah, tentang mereka yang tak hentinya tersenyum lebar, atau tentang mereka yang terus dipecundangi keadaan.
Namun, akankah mereka menaruh telinga walau sejenak, bukankah dunia sedang bertarung dengan kelana egonya masing-masing. Liat situan yang disana, ia nampak bepacu dengan waktu karna upah menjadi sumbu nafsu. Atau si nona disana, yang nampak santai menikmati jalan namun aroma gosong panci menanti dibelakang. Bahkan langitpun enggan mendengar kidung gelisah bernada a minor ini.
Udara pagi terasa sesak di paru-paru. Bahkan dosen yang pagi ini buta akan betapa suramnya mataku, terus saja menambah beban pada keranjang tugas kehidupan. Zona waktu di dunia akademisi terasa hanya sejengkal bagiku. Karna pasca keluar dari dunia penuh bahasa plastik itu, hari ku berlanjut pada sesi selanjutnya. Sesi dimana tulang harus kubanting demi sesuap nasi di esok hari.
“Selamat datang di toko kami. Ada yang bisa kami bantu?” Untunglah bibir ini masih bisa untuk menekuk keatas. Setidaknya ia topeng ku selama bekerja.
Seorang pelanggan dengan tubuh tinggi semampai itu nampak melihati seisi toko. Tiba-tiba ia mendekatiku seraya berkata “Aku curiga semua barang di toko ini palsu” lirihnya
Aku hanya terus menekuk bibir dan berniat untuk menimpali celoteh pelanggan tadi namun terpotong oleh perkataannya
“Karna senyum pelayannya palsu”
Aku tertegun menatap tajam bola mata pria itu. Ia hanya tersenyum tenang. Aku Kembali berbicara dengan bahasa robot toko. Pria itu hanya tersenyum menatapku.
“Nanti sore hujan, menangislah”
Karna bingung dan sedikit kesal, aku mengacuhkan pria itu dan menyambut pelanggan lain. Begitulah waktu berlalu begitu saja. Sistem tubuhku terfokus untuk menjadi robot toko. Melayani pelanggan dengan baik dan dengan raut wajah yang baik pula. Tak mungkin aku memasang wajah penuh lukisan keletihan ketika bertugas. Bisa-bisa aku kehilangan pekerjaan ini. Ditengah sibuknya diri, ponsel bergetar. Sebuah pesan kuterima. Bukan pesan pengingat makan atau istirahat dari “Ayang”, melainkan pesan penagih hutang dari bank credit. Merusak sistem fokus kerjaku saja. Berkat pesan tersebut pikiranku terpecah belah hingga menjadi beberapa bagian. Palu godam yang memang setiap hari menemani, sekarang bermain-main dengan kepala yang mulai lemah ini. Uang apalagi yang akan kugunakan untuk membayar pengirim pesan tadi. Dompetku sudah kehilangan nafasnya sejak tiga hari yang lalu.
Jam kerja selesai ketika mentari kembali ke peraduannnya. Semburat jingga tak terlihat hari ini karna terhalang awan hitam nan tebal. Sepertinnya langit akan menangis. Aku menatapnya sejenak. Benarkah ia menjadi iba dengan apa yang menimpaku sekarang. Atau ia hanya menangis untuk meledeki. Belum sempat aku beradu tatap lama dengannya, tiba-tiba langit memuntahkan butiran-butiran air. Rintik itu awalnya jatuh perlahan hingga menjadi lebat kemudian. Jalanan tampak kacau. Khalayak berlarian mencari pengaman. Dan aku masih tetap dalam pendirianku. Rintik itu menyerang ubun-ubunku. Awalnya lembut, namun akhirnya serangan langit mulai terasa sadisnya.
“Nanti sore hujan, menangislah”
Entah dari mana datangnya memori itu terputar begitu saja. Aku menengadah sejenak. Benar dugaanku, langit bukan menangis untuk iba. Ia hanya meledeki. Dan ya, tanpa aba-aba lagi air dari dua bola mataku mengalir bersama air yang ditumpahkan oleh langit. Bahkan tak kalah deras. Setidaknya kali ini aku berterimakasih pada langit, karna ia membiarkan aku menangis tanpa harus bersembunyi.
Seseorang menepuk ku dari belakang. Sontak aku menoleh.
Dibawah payung hitamnya, pria itu tersenyum “Aku tidak menyuruhmu untuk menangis menyerah, bodoh” ia menghentikan kalimatnya sejenak “Aku menyuruhmu menangis untuk menumpahkan segala penat dan beban di pundakmu saja hingga semua benar-benar tak menjadi beban. Hidup dengan segala dinamikanya jangan dijadikan beban. Tapi jadikan acuan. Hidup itu memang harus berbumbu, agar tidak hambar. Bersyukurlah karna hidupmu penuh racikan. Sebab buahnya akan lezat jika kamu mampu melewatinya”
“Dan apakah aku mampu?” Aku tertawa sinis masih dengan tangis yang entah mengapa nikmat sekali bila tak ditahan.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S. Al-Baqarah : 286)
Khairatunnisa’