Aku hanya ingin disini, di atas pasir yang menyisakan telapak kaki. Menikmati laut biru dan pasir putih dengan matahari jingganya, serta menikmati angin yang lembut, Mendamaikan.
Aku melihat anak kecil yang bekejaran, sepasang kekasih yang berpegangan tangan menumpahkan keresahan dan mengatakan yang terpendam. Begitupun denganku, tak ada yang beban aku hanya ingin mendengar suaranya, ketawanya, dan perasaannya yang pernah luka. Entah kenapa langkah kakiku sampai disini, akankah aku merindukan kenangan itu?
Jauh aku berfikir bahwa ia akan meninggalkanku dengan membawa separuh hatiku tanpa ia sadari bahwa aku tidak pernah menyepakatinya. Apa boleh buat ia tetap saja pergi dengan semudah itu.
“Ga, maafkan aku? Tidak seharusnya aku membiarkan kamu terlebur dalam rasa kecewa” ucapmu. Ku hanya duduk dan diam, tak paham akan maksudnya.
“Ga, jangan diam” katamu lagi
“Bukan begitu na, kau kenapa?” tanyaku dengan penuh kebingungan
Tapi kau malah diam saat aku menanyakan kau kenapa, membuatku risau tak paham. Aku hanya merintih lirik dalam hati. Tuhan, ada apa dengan perempuanku ini? Apa yang terjadi? Aku tidak kecewa dengannya? Kenapa iya meminta mmaf padaku?
Namanya Reina, perempuan yang tiga tahun dibawah umurku, penikmat warna biru. Reina yang cantik, tahi lalat di bawah bibirnya menandakan bahwa iya memang cantik. Setiap malam ia tak pernah absen menikmati bintang, baginya itulah inspirasinya. Reina, ku menemukannya di waktu yang memang tak kurencanakan di perpustakaan kampus. Saat itu aku lupa membawa bolpen tiba tiba saja ia meminjamkan bolpen miliknya dan anehnya kejadian itu sampai terulang kembali hingga aku lupa berapa kali, bukan ku rencanakan tetapi kebetulan saja atau Tuhan mengizinkanku untuk mengenalnya lebih jauh lagi.
“Aku, . . .” belum usai kuberkata. Kau berdiri lantas pergi meninggalkanku. Aku tak bisa berbuat apa kecuali mengejarmu.
“Reina, berhentilah! Aku mohon bicaralah padaku…” kau berhenti namun aku hanya bisa berdiri di belakangmu tetapi kau menoleh dan menunduk tanpa bercakap apapun. Betapa bingungnya diriku, kau tidak pernah bersikap seperti ini. Entah, hal apa yang membuat perempuanku seperti ini.
“Tataplah aku!” pintaku lembut, kau pun menurutinya. Oh tuhan, sanggup kah aku melihat perempanku ini menangis? Dalam hati, dia tetap saja menundukkan wajahnya.
Reina , baru saja kita singgah di sebuah kata kebahagiaan. Disaat kemarin, aku melihatmu yang membacakan puisi untukku, ku lihat kamu baik-baik saja ternyata tidak seperti yang kupikirkan.
“Bicaralah reina, katakan apa yang kau ingin katakan, aku akan mendengarkannya” kataku saat ditengah tengah kau sudah menangis buncah. Maaf, aku tidak bisa merangkulmu dalam pelukakanku karena aku takut kamu semakin menangis. Tapi apa jawabanmu, kau hanya membalas dengan sebuah kertas yang kamu genggam lalu memberikan di atas tangan kananku.
“Maafkan aku, ga” hanya kalimat itu yang aku dengar dari mulutmu lalu kamu pergi begitu saja, ku tak bisa mengejarmu kakiku tiba-tiba lumpuh dengan segenggam kertas yang kau kasih padaku yang tak sepenuhnya memberiku jawaban atas sikapmu. Ku buka kertas itu,
Ga,
Rinai itu telah pupus bersama mentari pagi
Aku tidak mampu menyelimutinya
Ia begitu bersinar,
Ia begitu cepat, dan
Ia mampu datang tanpa ku katakan iya
Ga,
Beribu air mataku jatuhkan untuk mempertahankannya
Beribu kata untuk ku katakan tidak dalam penghujung malamku
Tetapi apa?
Ga,
Betapa hancurnya istana yang kita buat
Atas perasaan yang sama, aku tidak mampu memaafkan diriku sendiri
Aku telah membuat keputusan yang salah
Aku lebih takut dengan ia tanpa aku berfikir bahwa kau jauh lebih baik
Tetapi apa? Mereka tidak memikirkan perasaan ku dan tidak akan pernah
Ga,
Silahkan kau katakan aku jahat,
Aku bisa menerima perkataanmu, memang benar aku jahat
Dan atas perasaan yang sama, aku hanya memberimu rasa percuma.
Maaf ga.
Reina, perempuanmu.
2014_Juni
Biburku bungkam, air mataku tidak mampu ku bendung. Ttidak kenapa, aku mengerti tak perlu kau katakan lagi, tak perlu kau jelaskan lagi mengapa kau tiba-tiba menangis, berlari, dan meninggalkanku, kertas ini sudah benar.
Aku hanya mampu melepaskanmu dan melihat sisa-sisa bayanganmu dan mata nanarmu. Usai sudah, aku terjatuh dan tertunduk disini dan kau tinggalkan separuh hati ini.
Reina, ini bukanlah jalan yang membuat kita nyaman. Aku tidak akan kecew dan aku tidak akan katakan bahwa kau jahat. Keputusanmu sudah benar, tidak usah pikirkan perasaanku. Banyak yang harus kau turuti apalagi mereka yang sejak lahir selalu ada dalam kehidupanmu. Bahagiakanlah mereka, aku sangat beruntung telah mengenalmu sekalipun Tuhan hanya ingin sampai di yupenghujung yang tidak pernah kita inginkan dan aku bangga kepadamu sebab pilihanmu sudah berhasil membuat ku percaya bahwa kau memang perempuanku yang baik. Apa aku boleh menunggumu? Sampai aku melihat kau tersenyum memandangnya
####
Eits! Ada puing-puing air di kemejaku darimana datangnya, ternyata dari anak-anak yang bermain kejar-kekejaran. Tak terasa dua puluh menit aku duduk menyaksikan kenangan, tawa, dan luka itu disini. Biarlah, aku simpan kenangan itu di dasar hati yang terdalam. Esok jika aku merindukannya aku akan membuka kenangan tujuh tahun yang lalu.
Reina sedang apakah dirimu? Apa kau baik baik saja? Masihkah kau dengan laki-laki itu? Atau sudah berakhir? Ku harap kau masih sendiri. Eh ! maaf reina, tidak jadi. Betapa jahatnya aku telah berharap seperti itu. Aku sudah menemukan sayap patahku, namanya rina. Tidak jauh dengan namamu.
Rina wanita yang akan menemaniku untuk tetap tidak melupakan masalaluku karena baginya dengan masalalu kita mampu merangkai jalan untuk lebih indah lagi. Tentu saja, aku sangat menyayangu budadariku ini, ia datang dengan merangkul kesedihanku. Kau benar reina, di saat sesuatu yang paling berharga itu hilang bagi kita tetapi Tuhan telah menghadiahkan sesuatu yang jauh lebih indah dari yang kita punya.
####
Aku beranjak pergi dengan rina istriku. Ku pikir tak perlu berlama-lama. Aku disini hanya ingin sekedar melihat kepingan sejarah yang tersisa dan tentang persaanku padamu reina. Aku akan kembali dengan buah hatiku, akan kuceritakan padanya. Rina, terimakasih untuk waktumu yang telah mampu membawaku kembali memperjuangkan cerita dan cinta yang pernah layu. Dan kesetiaanmu.
Senja kemaren, 13 september 2016