Hai, apa kabar?
Sepertinya kau sangat bahagia saat ini dengan selebaran putih yang berhias tinta merah diatasnya. Sekelumit kisah menjadi sorotan hati kecilmu untuk bertahan pada diksi hitam yang kau tau tahun lalu sudah merobek paksa hatimu. Namun, kau tetap gigih berasumsi bahwa kali ini perubahan itu pasti ada, dan semuanya tinggal dipoles oleh gigi depanmu yang tonggos satu. Eh, kau melupakan sesuatu! Di dunia ini tidak ada yang kekal abadi, tidak ada yang pasti memberikan hakikat kebahagiaan sejati. Kerap kali terjadi, analogi seseorang berpapasan dengan hukum alam yang serba bertubrukan, dengan dalih “Tidak apa-apa, selagi kita hanya sebatas bersua.”
Ini bukan untuk menggurui atau bahkan menjadikan diri sebagai patokan orang baik, tidak. Ini hanya pesan yang ditulis ulang sebagai kabar agar hati tak melepas pegangan yang didapat dari mulai melihat dunia untuk pertama kalinya, menangis kencang sebab tak mendapat ASI ibu, hingga kalimat tauhid itu ditancapkan dalam rongga-rongga nafas hidupmu. Patutlah kita mengorbankan suatu hal yang sudah kita pelajari di tahun-tahun sebelumnya dengan susah payah? Berapa mil yang kau tempuh untuk bisa mengetahui huruf _Alif_ hingga _ya’_ didalam kitab sucinya? Hanya karena keinginan hati yang sementara.
Rabb..
Kami kembali dengan keusangan hati yang berdebu basi, kami meretas cekikan yang diciptakan untuk sebuah hal tak berguna, dan kami resapi perlahan, menyesapnya dalam diam, hingga tak ada yang ingin mencobanya sebab tinggal ampas beserta kepahitannya.
St. Maizah