Setiap orang punya banyak identitas. Tuntutannya hanya memaksimalkan peranannya.
Tadi malam, saya makan di sebuah warung. Baru pulang dari kegiatan Diklat di kampus. Tiba-tiba ada seorang yang nyapa. Dia bilang, akhirnya bisa ketemu lagi, kak. Sekedar menebak, “Kamu anggota Activita?”
“Iya, Kak,” kata orang bersarung itu, yang merasa malu saat saya liat sepatu fantofelnya. “Sandal saya ketinggalan, kak,” lanjutnya, sambil ngegaruk kepala.
Lalu dia menceritakan banyak hal. Termasuk rutinitasnya, menulis berita untuk media online di kotanya. Dia selalu mendapatkan kritikan karena tulisannya amburadul. Harus selalu diedit redaksi. Bahkan mereka menyuruh untuk menulis cerpen saja. “Saya tidak bakat diberita, katanya kak.”
Terus dia cerita lagi, “barusan ini, kak. Saya ngirim tulisan lagi. Ternyara pimpinan redaksi saya kaget. Mereka malah bertanya, siapa yang ngeditin? Kok beritamu tumben bagus.”
Redaksinya berkata, bahwa ada perubahan besar dari tulisannya. Hanya dalam waktu sekejap. Dalam beberapa hari saja. “Saya sangat bersyukur bisa masuk LPM Activita. Capek memang, tapi luar bisa dampaknya,” kata dia sambil semringah. Wajahnya penuh bahagia.
Mendengar ceritanya saya ikut tersenyum. Dalam hati saya berkata, selamat panitia DJTD 2021, usaha kalian tidak sia-sia. Lelah kalian terbayar. Kalian telah berhasil menciptakan seorang jurnalis, dalam waktu singkat.
***
Bahwa, tak ada usaha yang sia-sia. Saya hanya ikut bangga. Sangat bangga. Sebab, ingat pasca DJTD 2016 lalu, saya tidak langsung bisa nulis. Butuh satu tahun, hingga semester 3, karena memang dulu saya sangat awam tentang berita. Tapi kali ini luar bisa.
Setidaknya, bagi saya, ukuran suksesnya kegiatan dari dampak yang diterima peserta. Bukan hanya dari kegiatan yang meriah. Mereka mendapatkan hasil, menjadi bukti bahwa konsep panitia sudah bagus.
Perihal evaluasi dari kesalahan, itu adalah hal yang lumrah. Dan memang harus ada, karena dengan kesalahan, dengan masalah, kita akan tumbuh berkembang jika mempelajarinya dengan baik.
Pada masa Abbasiyah, butuh banyak kesalahan, butuh banyak kegagalan agar mereka bisa membawa kejayaan. Sekitar abad ke-7 hingga ke-12, umat Islam mencapai puncak ke emasan, berkat berbagai kesalahan yang terus diperbaiki. Berbagai genre ilmu pengetahuan lahir dari mereka. Baghdad menjadi pusat keilmuan, orang-orang Eropa pun belajar di sana.
Sebelum masa renaisans, Barat, Eropa dan Amerika, butuh banyak kesalahan agar bisa mencapai puncak keemasan, yang ditandai dengan revolusi industri di Inggris di abad-18. Dampaknya hingga saat ini kita menikmati berbagai macam kemudahan akibat kesalahan-kesalahan yang terus diperlajari, hingga membawa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Thomas Alva Edison butuh 10.000 kesalahan hingga menjadi bola lampu. Ia berkata, hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang anda recanakan, tidak berarti bahwa hal tersebut sia-sia. Ya. Kita perlu mempelajarinya. Lalu, lakukan kesalahan-kesalahan lainnya, hingga lebih efektif.
Bayangkan jika tidak ada yang mau belajar dari kesalahan, saat ini kita masih memakai obor di waktu malam. Kita perlu merpati untuk saling berkirim kabar: mengira merpati kita tersesat lantaran tak ada balasan. Bagaimana jika orang yang perlu kita kasih kabar berada di luar negeri? Merpati apa yang bakal digunakan? Betapa susahnya, hanya dari sudut sempit komunikasi.
Tak ada alasan untuk pesimis. Kesalahan bukan lantas membuat kita lemah. Alva Edison dikenang lantaran optimisnya yang tinggi. Ia merasa tak berbuat salah. Kata dia hanya menemukan 10.000 cara yang tidak efektif. Edison berkata, “Jenius Adalah Satu Persen Inspirasi dan Sembilan Puluh Sembilan Persen Perspirasi (keringat).”