Activita.co.id-Mahatahari begitu membakar permukaan dunia, semua manusia sedang sibuk berlindung di atap rumah masing-masing. Namun tidak bagi Sumarni, perempuan gigih yang berusia 48 Tahun tersebut memilih untuk melawan terik matahari dengan tetap memetik daun tembakau di sebuah ladang yang memberikannya kehidupan selama dua dekade terakhir. Hari itu, di bawah tekanan dan paksaan suaminya, Marni bekerja keras membantu suaminya meskipun ia sudah sangat lelah karena baru menyelesaikan segala pekerjaannya di rumah.
“Sebenarnya saya letih, harus mengurus dan menanggung segala pekerjaan sendirian. Mulai dari membersihkan rumah, memasak, mengurus suami dan anak-anak dan masih harus bergelut di bawah teriknya matahari untuk membantu suami saya mencari nafkah. Harusnya ini bukan pekerjaan saya! tetapi adat dan budaya patriarki di Madura yang merajalela membuat saya tidak bisa melakukan apapun selain menerima,” ucap Sumarni dengan air mata yang mengalir bersamaan dengan keringat yang membasahi dahinya.
Madura adalah sebuah pulau di ujung Jawa Timur yang merupakan salah satu wilayah penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Banyak hamparan sawah yang diisi dengan ribuan tanaman tembakau sebagai tempat bagi ribuan keluarga untuk bergantung pada komoditas ini untuk bertahan hidup. Data dari dinas pertanian Sumenep menunjukkan bahwa sekitar 60% pekerja di ladang tembakau adalah perempuan, dan salah satunya adalah Sumarni.
Peristiwa tersebut bertolak belakang dengan hakikat suami sebagai sosok pencari nafkah yang seharusnya laki-lakilah yang mengurus segala hal di ladang tembakau dan istri berada di rumah untuk menjalankan tugasnya yang lain. Namun, patriarki di Madura menekankan agar perempuan menjadikan suaminya layaknya dewa sehingga istri harus membantu segala pekerjaan suami.
Berbeda dengan para suami yang pantang membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah sebab hal tersebut merupakan hal yang tabu sehingga usai menyelesaikan pekerjaan di ladang, istri akan melanjutkan menyiapkan makanan dan segala pekerjaan di rumah seorang diri.
“Sebenarnya saya sudah mengatakan pada suami saya jika saya letih. Saya meminta keringanan sebab di rumah juga banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Saya sering kewalahan kala harus mengerjakan pekerjaan di dua tempat sekaligus setiap harinya. Tetapi suami saya berpikir bahwa saya tidak patuh dan hanya ingin bermalas-malasan. Pekerjaan rumah dianggap sebagai suatu pekerjaan yang tidak terlihat sebab tidak menghasilkan uang,” kata Sumarni.
Sebagai seorang istri, Sumarni jelas tahu bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk patuh dan selalu membantu suaminya dalam hal apapun. Namun terkadang pekerjaan yang ia dapatkan diluar batas kemampuannya. Setiap hari Sumarni akan bangun pagi untuk membereskan rumah tempat ia tinggal. Ia harus menyapu, mengepel, membereskan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, memasak sarapan serta mengurus keperluan anak-anaknya untuk pergi ke sekolah. Sumarni juga masih harus membantu suaminya selama seharian penuh di ladang tembakau.
Setelah pulang dari ladang, suaminya bisa beristirahat sedangkan dirinya masih harus menyiapkan makan malam dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. “Saya merasa bahwa peran saya bukan hanya sebagai istri, tetapi juga secara tidak langsung berperan sebagai suami karena saya juga ikut berperan dalam mencari nafkah. Jika berbicara keadilan dan kerja sama dalam rumah tangga, suami saya bahkan tidak pernah membantu saya mencuci sebuah piring bekas sekalipun.”
Di desa tempat Sumarni tinggal, perempuan sudah terbiasa menanggung beban untuk menjalani peran ganda. Selain menjadi ibu rumah tangga, mereka juga terlibat penuh dalam pekerjaan untuk nafkah keluarga. Tidak hanya dalam sektor pertanian, tetapi dalam sektor lain seperti perdagangan, kelautan dan perikanan, Perkebunan dan sebagainya. Stuktur dan budaya patriarki yang kuat membuat posisi perempuan berada di posisi tidak menguntungkan. Budaya patriarki di Madura seolah-olah selalu menjunjung laki-laki dan terus menekan perempuan. Maka dari itu, Sumarni dan para perempuan lain yang ada di Madura terpaksa harus menerima kenyataan dan terus menjalani kehidupan dengan tetap menjalani peran ganda tanpa bisa protes sedikitpun.
Sumarni berharap suatu hari nanti budaya patriarki yang terus merugikan perempuan Madura dapat hilang agar terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Segala hal yang berkaitan dalam rumah tangga harus diseimbangkan dan dilakukan dengan kerja sama antara suami dan istri agar tidak terjadi ketimpangan dan kesenjangan. Sumarni ingin para masyarakat Madura menerapkan hidup saling bukan paling agar diskriminasi gender pada perempuan Madura tidak terus merajalela.
“Saya berharap agar kedepannya putri-putri saya tidak merasakan seperti apa yang saya rasakan. Saya berharap semoga kelak ketika mereka telah menikah, budaya patrarki telah terhapus dari peradaban agar mereka tidak mengalami kesengsaraan dalam rumah tangga. Maka dari itu saya ingin mensekolahkan mereka setinggi-tingginya agar kelak tidak perlu ke ladang seperti saya saat ini. Hidup ini berat, tetapi demi mereka saya harus tetap bertahan dan berjuang,” kata Sumarni dengan tatapan tulus dan penuh harap.
Di tengah kehidupannya yang berat dan dirasa tidak adil bagi Sumarni, ia masih tetap tersenyum saat menceritakan harapannya untuk masa depan putri-putrinya. Sumarni tidak pernah menyimpan dendam pada suaminya ataupun kepada dunia hanya karena peran ganda yang telah ia lakukan. Segala yang terjadi dalam hidupnya hanya perlu diambil pelajaran dan hikmah serta harapan agar kelak di masa depan hal tersebut tidak terulang bagi generasi berikutnya di Madura.
Sumarni memiliki harapan penuh agar perempuan juga diberi hak dan kebebasan dalam berpendapat layaknya laki-laki. Ia ingin agar desa tempatnya tinggal dan tumbuh dapat menjadi sebuah naungan yang memberikan perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang gender orang tersebut. “Semoga kelak zaman memberikan kesempatan kepada perempuan Madura untuk dapat hidup lebih baik dan bisa memperjuangkan hak-haknya tanpa harus dibatasi oleh budaya patriarki,” harap Sumarni dengan senyuman lembut yang mengisyaratkan berjuta impian. (Arinal Haq Fauziyah)