Oleh: Zulfatul Qamariyah mahasiswa Program Studi Ekonomi Syari’ah 2020
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah hari terakhir UAS sejak aku menjadi mahasiswa. Rasanya baru kemarin aku dinyatakan lulus UMPTKIN Fakultas EBIS prodi Ekonomi Syariah. Yeah, jurusan yang sama sekali tidak pernah ada di list jurusan impian. Siapa pun tau, aku lebih tertarik belajar Psikologi sejak SMP, candu membaca dan menulis. Karena alasan biaya, akhirnya kuliah di jurusan Psikologi hanya sebatas mimpi. Dulu aku sempat down. Pasrah pada nasib. Tetapi ada sosok yang tak pernah lelah menyuplai semangat baru padaku, tidak pernah bosan menyalurkan voltase gairah lewat senyumnya, kendati berkali�kali ku tolak. Sosok itu yang mengambil alih tulang punggung keluarga sejak Ayah meninggal 18 tahun silam sebelum aku terlahir. Bukan, tepatnya sejak Ibu terbaring di atas dipan dengan sekerat penyakit aneh yang merubungnya, 5 tahun lalu. Dia adalah Kakak satu�satunya yang kumiliki. Kakak dengan peran ganda di hadapan Adik perempuan kesayangannya.
Di tengah ambruknya semangatku, Fahmil Adnan, Kakakku, mendaftarkanku di jurusan Ekonomi Syariah. Jurusan yang konon adalah jurusan favorit di IAIN Madura, salah satu kampus di pulau seberang. Aku tidak banyak berkomentar, menjalani serangkaian ujian seleksi hingga akhirnya dinyatakan lulus. Dan dimulailah hari-hari Daring tersebab PANDEMI.
Aku, yang sejak awal memang bukan di jurusan itu, tambah terombang ambing di tengah
kekacauan negeri dan Ekonomi.
“Bagaimana kuliahmu, Dek?”
“Ada tugas apa saja?”
“Dosennya menyenangkan? Teman-temanmu seru?” Pertanyaan rutin setiap malam Kak Fahmil dari ujung telepon. Aku megiyakan. Kakak tengah bekerja di salah satu restoran yang ada di pulau seberang. Dia hanya pulang seminggu sekali membawa obat-obatan Ibu dan keperluan rumah selama seminggu. Aku tau, sebenarnya kakak tidak sampai hati meninggalkan rumah dengan keadaan Ibu yang seperti itu, tetapi Kak Fahmil tidak punya perahu untuk melaut. Satu-satunya mata pencaharian di pulau kami adalah melaut.
“Besok jadwal Kakak pulang, kan?”
“Iya. Zalfa mau apa?”
“Zalfa mau Kakak. Udah itu aja.” Aku memang tidak menuntut banyak. Namun setiap pulang kakak pasti membelikan buku-buku dan majalah. Entah yang masih bersegel atau bekas.
“Bagaimana keadaan Ibu, Dek?”
“Baik. Tadi sore sudah mau menghabiskan semangkok bubur.”
“Syukurlah.” Kak Fahmil menghela napas. Sepertinya malam ini Kakak lebih banyak menghela napas ketimbang malam-malam biasanya. Pasti ada yang menganggu pikirannya.
“Maafkan Kakak, ya, Dek. Gegara Kakak harus kerja, Kamu sendirian merawat Ibu.” Lagi!
Entah sudah beratus ribu kali Kakak meminta maaf soal itu. Padahal aku baik-baik saja selama ini. Menyuapi Ibu adalah momen paling membahagiakan. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Kakak tau kan, kalau Zalfa hebat?”
“Ya, Kamu gadis terhebat dan terkuat yang Kakak kenal.”
Aku tersenyum. Selalu menyenangkan dipuji olehnya.
“Kak .. “ Kalimatku terhenti. Tidak, aku tidak akan membicarakannya malam ini.
“Ya? Ada apa? ada masalah?”
“Eh, nggak. Zalfa ngantuk.” Elakku beralasan. Padahal sudah dua hari ini pembayaran UKT mengangguku.
“Baiklah, gadis kesayangan Kakak harus segera beristirahat. Sudah wudhu’?”
Aku mengangguk. Kak Fahmil menutup telepon setelah salam.
Huft .. biaya pengobatan ibu dan biaya sehari-hari sudah cukup menyita pikiran Kakak.
Apalagi ditambah dengan uang UKT ku. Di masa pandemi ini Setauku, gaji Kakak berkurang. Karena sekarang dihitung tiap jam bekerja, bukan dihitung sehari penuh layaknya sebelum Covid-19. Malam semakin larut. Tetes hujan terdengar satu persatu menimpa genteng. Beberapa saat kemudian bumi di kungkung hujan lebat. Aku memeriksa Ibu di kamarnya, memperbaiki selimutnya. Entah jenis sakit apa yang Ibu rasakan, tetapi memandangj wajah sayunya selalu sukses mencabik hatiku. Tubuh yang dulunya berisi kini kurus kering. Aku memeluk Ibu, mengecup keningnya seperti yang biasa beliau lakukan saat aku masih kecil dulu. Sungguh, aku rindu Ibu yang dulu.
“Ibu, apa sebaiknya Zalfa berhenti kuliah saja, ya? Zalfa tidak tega melihat Kak Fahmil harus banting tulang demi kuliah Zalfa .. Lagi pula, Zalfa ingin fokus merawat Ibu, tanpa terganggu kuliah .. “ Aku mengadu. Terisak pelan. Namun hanya dijawab dengan tarikan napas Ibu yang tak teratur
***
“Assalamualaikum,” seru Kak Fahmil dari luar pintu. Aku bergegas membukakan pintu.
“Waalaikumsalam, Kaka!” teriakkku senang. Aku mencium tangannya, Kak Fahmil langsung memelukku, mencium keningku.
“Apa kabar gadis kecil Kakak?” sengaja menggodaku dengan menyebut gadis kecil.
“Kakak Tau kan, Zalfa bukan gadis kecil lagi. Sekarang Zallfa bahkan sudah jatuh .. “ mulutku tersumpal. Hampir saja keceplosan. Kak Fahmil melayangkan tatapan misterius.
“Kakak gak mau gegara cinta-cintaan Zalfa tidak fokus kuliah.” ujarnya sambil berlalu dari hadapanku. Aduh, aku tidak mau merusak pertemuan kami dengan persoalan sepele itu. Kak Fahmil memang selalu bereaksi berlebihan jika sudah menyangkut jatuh cinta. Padahal aku hanya jatuh cinta padanya. Tidak ada lelaki lain. Sungguh.
“Zalfa masak kesukaan Kakak, lho. “ Kataku membuntuti. Kak Fahmil mengangguk. Meletakkan ransel di atas meja, lalu masuk ke kamar Ibu.
“Kakak!” seruku menghentikan langkahnya, dia menoleh, menungguku.
“Seharusnya Kakak membersihkan diri dulu sebelum menemui Ibu. Ada virus Coronanya,” ujarku sok serius. Tapi Kak Fahmil benar-benar mengurungkan langkahnya, pergi ke kamar mandi. Aku tertawa menang. Sudah dua jam Kak Fahmil di kamar Ibu. Entah apa yang dia lakukan. Setiap kali pulang pasti begitu. Seolah sudah menjadi ritual wajib. Menyebalkannya lagi, aku dilarang masuk! Jadilah aku hanya menunggu bosan di ruang tamu. Membuka sembarang halaman buku hadiah darinya.
“Kakak.” Panggilku pelan di depan kamar Ibu. Hy, tidak enak diabaikan begini!
“Eum .. “ hanya itu responnya. Aku balik kanan. Aku memeriksa sayur lodeh di atas kompor, menghangatkan sekali lagi.
“Kalau terlalu sering di panasin, rasanya pasti hambar.” Aku ngedumel sendiri. Sengaja dikerasin supaya Kak Fahmil mendengar.
“Masakan Zalfa ga pernah terasa hambar, Kok. Persis seperti masakan Ibu. Lezat.” Aku tersenyum mendengar selorohnya. Akhirnya keluar juga. Kami makan sambil mengobrol. Kak Fahmil bercerita tentang kota tempat ia bekerja. Namun tidak sekalipun bercerita tentang masalah yang dihadapi. Aku takzim mendengarkan.
Makanan hampir tandas, aku harus membicarakan perihal UKT sekarang. Karena besok pagi-pagi sekali Kak Fahmil sudah harus berangkat lagi.
“Eum, Kak .. “ aku masih ragu.
“Ya?” Tanggap Kak Fahmil menatapku, menghentikan kegiatan mengunyahnya.
“Eum .. Perihal UKT .. “
“Oh, ya, tanggal berapa pembayaran?” tanya Kak Fahmil memotong kalimatku.
Aku menggeleng. Tidak, bukan itu maksudku.
“Zalfa berhenti kuliah saja, ya, Kak?” akhirnya kalimat itu keluar juga. Tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin menambah beban Kak Fahmil.
“Zalfa ingin bantu Kakak saja. Zalfa bisa melakukan apa pun, kok. Sungguh.” Kak Fahmil menatapku tanpa ekspresi.
“Well, Pandemi ini membuat Kuliah tidak stabil, Kak. Bayar UKT nya tetap, padahal
Mahasiswa tidak sekalipun menikmati fasilitas kampus .. “
“Kamu akan tetap kuliah apa pun yang terjadi. Titik.” Kak Fahmil kembali meneruskan makannya. Tetapi aku tidak semudah itu menyerah.
“Jujur Kak, Zalfa tidak mendapatkan apa-apa selama satu semester ini. Hanya buang-buang waktu dan kuota saja! Zalfa ingin fokus merawat Ibu.”
Kak Fahmil meletakkan sendok. Menatapku serius.
“Tutup mulutmu, Zalfa Ayumi. Besok pagi selesaikan pembayaran UKT mu. Kakak tidak mau mendengarkan alasan konyolmu lagi.”
Aku mengkerut. Jika sudah menyebut lengkap namaku, itu tandanya Kak Fahmil tidak main-main dengan ucapannya. Aku menunduk. Sebenarnya aku menikmati kuliahku, setidak masuk akal bagaimanapun kebijakan yang diterapkan oleh rektor dan Menteri Pendidikan.
Kak Fahmil beranjak pergi meninggalkan aku yang terisak pelan. Aku tau, percakapan ini tidak akan pernah berhasil. Sepelik apa pun mendapatkan uang untuk UKT, Kak Fahmil akan menemukan caranya. Dia tidak akan mudah menyerah.
***
Hari itu aku belum tahu, jika kepulangan Kak Fahmil adalah untuk selamanya. Restoran tempatnya bekerja tidak mampu menutupi kebutuhan yang membengkak, biaya pengeluaran begitu tinggi, sedang pelanggan semakin hari semakin sepi, akibat kebijakan lockdown yang diterapkan. Dia bersama beberapa karyawan dengan sangat terpaksa dirumahkan. Kak Fahmil tidak pernah memberi tahuku. Aku tau dari berita yang beredar di internet. Hari itu dia seharian keluar rumah. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku sungguh tidak tahu jika Kak Fahmil meminjam sejumlah uang terhadap Tauke ikan untuk membayar UKT. Sedang uang pesangon dari restoran ia gunakan untuk membeli Polokan, perahu kecil khusus satu orang. Hal yang lebih mengejutkan adalah, dia memutuskan menjadi pelaut. Aku tidak tahu rintangan apa saja yang menghadangnya. Aku juga tidak tahu lebih banyak mana beban di pundaknya atau dihatinya. Aku .. yang mengaku mencintainya ternyata tidak pernah tahu bagaimana dia menukar impian dengan jalan hidup yang dia pilih. Bagaimana dia mengorbankan seluruh hidupnya demi melihat aku tersenyum, mewujudkan mimpiku dengan menggadaikan impiannya sendiri. Aku Zalfa Ayumi, penggemar nomer satunya, ternyata tidak tahu apa-apa mengenai dirinya.
Segeralah berlalu Pandemi, agar aku tidak semakin menjadi beban Kak Fahmil, pun aku ingin kehidupan kuliah layaknya sebelummu.
Gadis Bintang,
Sumenep, 11 Februari 2021