Penulis: Khairatunnisa’ (TBI/2) |
Pada orang yang salah aku menaruh harap tanpa kuduga. Pada dia yang tiba-tiba memelukku di malam sunyi bertemaram cahaya rembulan. Aku tahu akan sakit rasanya, namun hati tetap menginginkannya. Apalah daya ketika hati telah bertitah, akal sehat pun enggan mengkilah. Hangat peluknya masih kurasa, debar jantung masih berpacu cepat ketika aku ingat bagaimana lembut kedua tangannya yang mengusap pelan kedua tanganku. Rindu kini mencekik relung hatiku.
“Haruskah aku tampar keras dirimu agar kausadar dengan apa yang kaulakukan sekarang.”
Seorang teman yang sejak tadi menemukanku tersenyum tanpa arah tujuan, menegurku. Sejenak aku menoleh padanya.
“Dosakah aku?” Kutatap secangkir kopi hitam pekat dengan potongan es dadu di dalamnya.
“Rasa ini datang tanpa diundang, hadir tanpa dipikir, muncul tanpa diukur. Bagaimana cara menghindarinya pun aku tak tahu. Hati ini seakan rela ketika dia bertahta.
Seakan telah menitah segala yang aku rasa”
Ia menggelengkan kepala. “Kau telah dibutakan oleh cinta.”
Benarkah aku telah buta. Sepertinya, ya, aku buta. Buta pada perasaan lain selain rindu akan dirinya. Buta pada kenyataan bahwa rasa ini terlarang. Aku tidak mau bangkit dari kebutaan ini. Buta yang sangat menggoda. Buta yang membuat hatiku bersenandung ria. Terlalu dalamkah dia menanam rasa ini hingga aku lupa akan tepian? Ah entahlah. Aku masih kukuh pada pendirian ini. Pendirian yang dilandasi dengan rasa buta ini.
Perlahan aku menyeruput kopiku. “Kau tahu, ada dua kepahitan yang aku rasakan saat ini.” Mataku menerawang pekatnya secangkir kopi dingin di tanganku. “Pahit kopi ini dan pahit merindukannya.”
Sahabatku itu lagi-lagi hanya menggelengkan kepalanya. Dia menatapku dengan iba. “Orang ketiga itu layaknya ampas kopi.” Aku menoleh padanya.
“Pahit dan tidak ada gunanya, bahkan tergolong sampah”
Aku tertawa miris. Mengasihani diri sendiri. “Tanpa ampasnya, kopi tak akan senikmat ini bukan?” candaku
Dia menghembuskan napas frustasi. “Aku hanya bisa mendoakan kesadaranmu, Sobat.” Dia menepuk pelan pundakku. Aku membalas dengan senyum.
Aku menerawang pada langit kelabu yang seakan tahu akan biru hati yang telah lama merindu. Menatap gerimis yang sejak tadi enggan berhenti. Tiba-tiba sosok yang kuuntai namanya dalam benak, muncul di balik tirainya. Bersama payung merah di tangan kanannya. Ternyata takdir memihakku. Mataku bercahaya ketika senyumnya merekah pada wajah rupawan yang telah lama aku dambakan.
Dia menghampiri dengan langkah pasti. “Wah kebetulan sekali kita bertemu di sini.” Suara asing itu tak kuhiraukan bahkan pada tangannya yang menggelanyut mesra pada tangan kokoh yang sangat inginku sentuh itu.
Dengan penuh topeng, aku mempersilakan keduanya untuk duduk bergabung di meja kami. Pada mata itu tersirat sebuah pesan. Pesan rindu yang juga sama tengah melandaku. Wanita yang bersanding dengannya kini mengeluarkan dua buah undangan.
“Datanglah pada hari pertunangan kami.”
Aku tersenyum. Senyum yang menjadi topeng atas perih yang tiba-tiba tergores begitu saja di hati. Dari bibir mungil itu, sebuah pisau tajam tertancap begitu saja. Diam-diam aku melirik bola mata tenang itu. Dia menyiratkan keteduhan seakan paham akan rasa perih ini.
“Aku ke belakang dulu ya.” Dia berbisik pada gadis yang sejak tadi memeganginya.
Matanya memberikan isyarat secara diam-diam. Aku pun segera menyusul ke belakang. Pada ruangan yang hanya diisi aku dan dirinya, dia menarik tanganku mendekat. Menggenggam kedua tanganku dengan hangat. Bibirnya tersenyum, senyum yang telah lama aku rindu.
Dia kembali mendekapku dengan hangat.
“Aku rindu,” bisiknya dengan indah.
Rasanya dia telah membawaku terbang menuju awan. Hatiku bersorak indah karena akhirnya rindu ini terobati. Tangannya mengusap pelan kedua tanganku. Memberikan kehangatan yang sangat nyaman. Pelukan itu membuatku semakin egois dengan perasaan ini. Semakin membutakan rasa dan menyelundupkannya lebih dalam. Maka dalam dekapan hangat itu aku putuskan untuk tetap menikmati pahit ini.
Biarlah api yang tengah kumainkan asal indah dan nyaman rasa ini tak terlepaskan. Akan kunikmati hari-hari merindukannya, pada rasa yang bisa saja menikam kapan saja. Akan kunikmati pahit ampas kopi ini demi manis meski tak hakiki.