Activita.co.id- Pemilihan ketua organisasi kemahasiswaan di lingkungan kampus sejatinya merupakan ruang pembelajaran demokrasi yang sehat bagi generasi muda. Proses ini semestinya menjadi miniatur demokrasi yang mengajarkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Namun sayangnya, idealisme tersebut kerap tercoreng oleh praktik-praktik kecurangan yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Kecurangan dalam pemilihan organisasi mahasiswa bukan lagi hal asing. Pelaku sering memanipulasi data pemilih, menyebarkan kampanye hitam, melakukan intimidasi, hingga memainkan politik uang secara terselubung. Mereka menjadikan semua itu seolah bagian dari “ritual tahunan” yang terus hidup dalam tradisi pemilihan mahasiswa. Ketika panitia dan pihak terkait tidak menjalankan proses demokrasi secara adil dan terbuka, mereka tidak memberi ruang bagi ide dan gagasan terbaik untuk menang, melainkan membiarkan strategi licik dan relasi kuasa mengambil alih.
Lebih dari itu, praktik curang dalam pemilihan organisasi mahasiswa merampas hak demokratis mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang ingin melihat perubahan nyata menjadi kecewa, pesimis, dan apatis. Rasa tidak percaya terhadap sistem pun tumbuh, menyuburkan budaya “masa bodoh” yang hanya memperparah krisis partisipasi di kalangan mahasiswa. Ironisnya, sering kali mereka yang mengaku membawa semangat perubahan, justru ikut bermain dalam pusaran kecurangan yang sama. Mereka menjanjikan transparansi, namun memenangkan diri lewat praktik yang jauh dari nilai tersebut.
Fenomena ini amat membahayakan. Sebab, mahasiswa yang merupakan calon pemimpin bangsa, justru dididik oleh sistem yang membenarkan kebohongan demi kemenangan. Ini bisa membentuk watak oportunis dan permisif terhadap pelanggaran di masa depan. Jika sejak bangku kuliah mahasiswa sudah terbiasa melihat kecurangan sebagai jalan pintas menuju kekuasaan, maka kita tidak bisa berharap banyak pada perubahan sistem di dunia luar. Kampus sebagai laboratorium kepemimpinan justru melahirkan pemimpin yang cacat integritas sejak dalam pikiran.
Lebih jauh, praktik kecurangan dalam demokrasi kampus sering kali tidak berdiri sendiri, melainkan berjalan beriringan dengan pembiaran dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Ketika birokrasi kampus memilih diam atau bahkan melanggengkan keberpihakan, maka ruang demokrasi menjadi sempit dan kehilangan makna.
Dalam konteks ini, peran lembaga kampus seharusnya bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai penjaga moralitas pemilihan. Tan Malaka dalam Madilog pernah menegaskan bahwa “kemerdekaan barulah tercapai bila pikiran sudah merdeka.” Maka ketika mahasiswa mencoba menyuarakan kebenaran namun dibungkam oleh sistem yang timpang, sejatinya yang dikekang bukan hanya suara, tetapi kemerdekaan berpikir itu sendiri. Kampus yang gagal menjamin keadilan dan kebenaran dalam proses demokrasi internalnya, pada dasarnya sedang membangun generasi yang terbiasa tunduk, bukan generasi yang terbiasa berpikir.
Oleh sebab itu, kampus tidak boleh lagi bersikap netral terhadap pelanggaran semacam ini. Pihak birokrasi kampus dan lembaga pengawas pemilwa (pemilihan mahasiswa) harus mengambil langkah konkret dan tegas agar demokrasi kampus tidak berubah menjadi sandiwara belaka. Mereka perlu menetapkan transparansi sebagai standar dalam setiap tahap pemilihan, mulai dari verifikasi calon hingga penghitungan suara.
Selain itu, mereka juga harus melibatkan mahasiswa dari berbagai unsur dalam pengawasan independen, serta memberikan sanksi tegas kepada pelaku kecurangan secara konsisten.
Pemilihan bukan sekadar ajang perebutan jabatan, tetapi proses pendidikan politik. Maka integritas pemilihan mencerminkan kualitas intelektual dan moral mahasiswa itu sendiri. Demokrasi kampus hanya akan punya makna jika dijalankan dengan semangat jujur, terbuka, dan berkeadilan.
Kalau demokrasi di kampus saja sudah busuk, bagaimana kita berharap ada demokrasi yang sehat di luar sana? (Rofiqi/Activita)