Apa jadinya bila pendidikan di perguruan tinggi tidak berjalan smestinya,? semestinya bekerja sesua Tri-Dharma Perguruan Tinggi, eh malah menjadi ladang basah untuk menyebarluakan wacana politik pragmatis ? Parahnya, dilakukan oleh pejabat kampus, seperti rektorat, berjamaah pula.
Dunia pendidikan dan politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna. Sedangkan dunia politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya.
Dalam diskursus ilmu politik, terma politik tidaklah selalu berkonotasi buruk, sebagaima yang sering kita dengar, menyebut politik sebagai perbutan jabatan dan meraih kekuasaan. Akan tetapi politik adalah seni mengabdi atau seni melayani (baca: politik). Dalam perkembangannya seni berpolitik yang suci itu, dengan mengabdi terhadap rakyat, malah berubah keadaan menjadi ajang konstestasi merebut kekuasaan (politik pragmatis). Politik terbagi empat macam yaitu; politik teoritis, politik praktis, politik pragmatis, dan politik profetik atau nilai.
Politik teoritis adalah ilmu yang mempelajari tentang pemerintahan dan tata negara. Politik praktis ialah terapan dari teori-teori politik pada sebuah pemerintahan. Sedangkan politik pragmatis adalah politik yang didasari dan diorientasikan pada pemuasan kepentingan pribadi atau kelompok, atau juga politik kekuasaan.
Walaupun penjelasan politik ini bersifat asumsi, sebab tidak ada pengertian definitif yang dapat dijadikan rujukan normatif untuk memaknai tentang politik pragmatis. Akan tetapi melalui penelitian dan kesadaran akan realitas sosial dimana seseorang mempertaruhkan harga diri, waktu, tenaga, pikiran, dan tentunya uang untuk mencapai apa yang didambakan, yakni kemenangan dan kekuasaan.
Secara kasat mata, kekuasaan yang dimaksud tak lain adalah jabatan, kedudukan atau posisi. Namun secara implisit yang diperebutkan sesungguhnya adalah otoritas dan wewenang untuk membuat keputusan-keputusan publik yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok.
Perguruan tinggi sebagai subsistem pendidikan nasional tentu keberadaannya sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui adanya penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal inilah mengapa perguruan tinggi berkewajiban merumuskan pemikiran bagi kemajuan bangsa melalui proses kajian-kajian akademik dan kerja politik intelektualnya.
Berdasarkan jadwal resmi pemilu 2019, kampanye dimulai sekitar 23 September 2018, dan kampanye berakhir pada 13 April 2019 (sumber: detik.com). fenomena politikus masuk kampus memang lazim terjadi menjelang kontestasi pemilu. Para politisi yang biasanya sulit diundang, mendadak ingin tampil untuk menjadi pembicara di kampus.
Biasanya mereka tampil dalam agenda resmi, alih-alih membagi ilmu tapi justru memanfaatkan panggung kampus sebagai lahan kampanye politik.
Di tengah tantangan kehidupan bangsa, perguruan tinggi seharusnya memposisikan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintahan atau sebagai laboratorium untuk menghasilkan ide dan gagasan yang independen dan ilmiah. Dengan demikian, maka para akademisi dan intelektual (mahasiswa, dosen, doktoral, guru besar, bahkan pimpinan kampus) mesti menjaga diri, tidak teribat dalam politik pragmatis dengan dukung mendukung calon untuk kepentingan sempit dan jangka pendek. Justru penguruan tinggi harus tampil sebagai lokomotif dalam hal transformasi kesejahteraan masyarakat melaui penerapan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut.
Namun prinsip tersebut akhir-akhir ini rasa-rasanya hanya menjadi slogan atau pepesan kosong. Mengingat banyaknya perguruan tinggi yang melanggar prinsip Tri Dharma tersebut.
Sangat disayangkan jika civitas akademika kampus malah sibuk berpolitik pragmatis tinimbang sibuk bekerja memberikan penyadaran dan pendidikan yang baik terhadap masyarakat.
Persoalan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian menjadikan perguruan tinggi harus disterilkan dari politik pragmatis. Pandangan-pandangan moral-intelektual dan arahan untuk kebaikan penyelenggaraan negara dan kesejahteraan rakyatlah yang justru ditunggu.
Sebab keterlibatan para akademisi dalam proses politik pragmatis sesungguhnya adalah bentuk penghinaan terhadap wibawa akademikus dan institusi perguruan tinggi.
Arahan perguran tinggi tetap sangat dibutuhkan. Pemikiran obyektif untuk perumusan kebijakan serta proses politik yang sedang berjalan juga senantiasa ditungggu. Inilah sesungguhnya gerakan politik ala kampus. bukan politik pragmatis, namun politik nilai, ilmiah, dan politik moral kebangsaan (politik profetik).
Sehingga apabila perguruan tinggi ikut andil dalam proses politik pragmatis, dikhawatirkan independensinya terganggu, kepercayaan masyarakat berkurang, serta kewibawaan kampus akan tercoreng. Apalagi bila yang didukung oleh pihak kampus itu pernah melakukan atau dikemudian hari melakukan tindakan tercela semisal korupsi, otoriter, dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Kami kira itulah alasan pokok kenapa perguruan tinggi tidak dibolehkan untuk terlibat dalam politik pragmatis dalam cara apapun.
Belakangan ini memang sering dijumpai orang kampus yang tergoda untuk berpolitik, sayangnya jalan politik yang dipilih adalah politik pragmatis.
Padahal sangat jelas, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 280 Ayat (1) mengatur dengan tegas terkait larangan kampanye di tempat pendidikan. Apapun dalihnya, kampanye di kampus adalah tindakan yang tidak etis dan termasuk pelanggaran. Termasuk pula mendatangkan politisi atau pejabat teras partai politik untuk memberikan kuliah umum atau dikemas dengan pertemuan bersama birokrat kampus. Walaupun untuk hal tersebut masih belum pasti, akan tetapi sebagai bentuk antisipasi pencegahan potensi terjadinya politik pragmatis mestinya hal tersebut dihindari.
Walaupun kampus harus steril dari politik pragmatis, namun kampus tetap punya tanggung jawab untuk pendidikan politik rakyat (civic education). Kampus justru harus menjadi bagian terdepan dalam menggalakkan pendidikan masyarakat sadar akan politik, selain itu kampus senantiasa menjadi pengawal jalannya demokratisasi agar supaya tidak melenceng dari tujuannya yang hakiki mewujudkan kedaulatan rakyat sepenuhnya untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial seluas-luasnya. Insan kampus semestinya menjadi teladan berdemokrasi dan berpolitik. Insan kampus hendaknya menjadi contoh ideal bagaimana beretika dalam pesta politik. Para akademisi mestinya menjadi juru bicara negara, bukan menjadi juru bicara partai, apalagi politisi.(*)
*Oleh: Ach Faizi, Mahasiswa Aktif IAIN Madura, Prodi AHS