Oleh: Aqil Husein
Barangkali yang terlintas dalam otak kita pada umumnya mengenai bus adalah alat transportasi yang besar dan panjang dengan kapasitas angkut 50-an penumpang bahkan lebih, sebab begitulah realita yang ada. Bus dijadikan transportasi angkut antar kota dan rata-rata mematok harga ongkos yang sangat ekonomis, antara Rp. 10.000 hingga Rp. 12.000 di pulau Jawa dan Madura. Relatif, beda daerah beda harga meski tidak jauh berbeda.
Sebagai mahasiswa perantau yang rela meninggalkan kenangan kota kelahiran untuk berkelana ke kota seberang dalam mencari pengalaman (experience) dan pengetahuan (knowledge) bus menjadi mode transportasi pilihan setiap kali merantau atau pulang kampung (mudik), biasanya satu kali tiap akhir semester. Tidak hanya saya, mayoritas teman-teman mahasiswa perantau lainnya baik yang masih berstatus mahasiswa baru atau bahkan mahasiswa sepuh juga menaruh pilihannya terhadap transportasi ini. Mungkin pikiran mereka selaras dengan apa yang saya pikirkan, selain nyaman, bus juga relatif aman, baik bagi keselamatan di jalan atau isi dompet.
Namun, percaya atau tidak, bus telah mengajarkan dan menarik kita untuk memahami realitas sosial. Walau dengan ruang kemudi dan ruang penumpang yang terbatas, namun di sana kita akan disuguhkan dengan pernak-pernik kehidupan sosial berupa miniaturnya. Representasi karakter, sikap, sampai dengan dekadensi moral bisa saja kita temui di sepanjang perjalanan. Untuk itu, kepekaan kita dalam melihat lingkungan sekitar juga harus terbuka lebar.
K. A. Dardiri Zubairi, penulis, aktivis, dan cendekiawan Madura pernah menceritakan pengalamannya sewaktu dalam bus ketika melakukan perjalanan dari Sumenep dan akan bertolak ke Surabaya yang kemudian diabadikan dalam esainya berjudul “Berapa Kepedulian Anda Hargai?”. Pengalaman yang ditulis secara komunikatif dan reflektif itu juga menggugah pembaca untuk lebih bisa mengevaluasi diri dari segi aspek sosial dan solidaritas, utamanya.
Dalam esainya, beliau membahas mengenai kepedulian sosial yang sudah mahal harganya. Mayoritas penumpang bus sudah cenderung bersikap personal dan mengedepankan ego individualistiknya. Keadaan itu beliau ceritakan dengan menyuguhkan sebuah realitas yang beliau lihat dan rasakan sendiri. Dua orang ibu yang sama-sama menggendong anak kecilnya, yang satu bersama suami, satunya lagi hanya dengan si buah hati rela berdiri sambil menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh saat bus sedang melaju, kebetulan semua kursi penuh, sampai sebagian penumpang termasuk beliau dan dua ibu tadi harus berdiri.
Selama perjalanan, tidak ada satupun yang peduli dengan nasib kedua ibu tersebut, bahkan anak muda sekalipun. Sampai akhirnya, salah seorang penumpang berusia kira-kira 40 tahunan memberikan tempat duduknya untuk salah satu ibu tadi. Yang satunya? Tetap dalam posisi berdiri.
Kyai muda itu juga mengatakan bahwa dalam ruang lingkup yang lebih luas, kehidupan nyata, rasa peduli dalam sebagian orang memang sudah mengalami kematian, bukan lagi sakaratul maut. Bahkan di semua lokus kehidupan sekalipun.
Relevansi antara keadaan yang terjadi dalam bus dengan kehidupan nyata memang sering kita rasakan sendiri. Sikap memprioritaskan ego pribadi, meski dalam ruang lingkup bus, secara langsung juga mencitrakan minimnya kepedulian serta rasa sosial dalam diri masing-masing terhadap lingkungan sekitar.
Jika di bus kita masih menemukan orang yang mengajak kita untuk berkomunikasi walau dengan hanya pertanyaan “darimana?” atau “mau kemana” adalah suatu hal yang patut diapresiasi. Apalagi, segelintir orang-orang yang rela membagi-bagikan makanannya pada penumpang yang lain. Sebab sikap seperti itu sudah langka kita temui dalam perjalanan mudik atau bepergian menggunakan bus.
Barangkali ini disebabkan oleh modernitas yang telah merenggut jiwa sosial masyatakat. Karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal ramah oleh dunia tidak boleh menjadi tumbal dari revolusi industri yang semakin mencapai zona klimaks. Gawai pada saat ini seolah lebih penting dari lingkungan. Media sosial yang ditawarkan pun telah menjarah ruang gerak sosial yang sebenarnya.
Berkaca pada hal yang terjadi di dalam bus juga menjelma menjadi pelajaran bagi kita selaku makhluk sosial. Evaluasi diri dengan melihat miniatur realitas sosial penting dalam menentukan sikap ke depannya. Seperti yang saya katakan tadi, masyarakat Indonesia terkenal dengan keramahannya dan tingkat sosialnya yang tinggi. Maka sangat tidak etis jika ruh tersebut sengaja diacuhkan atau bahkan dihilangkan, Na’udzubillah.