Menyeimbangkan Romantisme dengan Intelektualitas
Perbesar
Mahasiswa bisa dikatakan profesi kemerdekaan baik dari segi pergaulan maupun pembelajaran. Jika sebelumnya mereka belajar setiap hari dalam kapasitasnya sebagai siswa, kini mereka mulai memasuki udara yang berbeda. Disini mereka dituntut oleh kesadaran diriya sebagai mahasiswa untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mahasiswa yang tidak memiliki kesadaran intelektual akan mengalami kegagapan pergaulan yang bisa menyeret dirinya dari identitasnya sebagai mahasiswa. Jika begitu, mahasiswa tak ubahnya hanya gelas kosong.
Di era sekarang ini sulit rasanya menemukan mahasiswa yang kosong dari hubungan romantisme. Ngedate dan ngapel merupakan kata kata yang tidak jarang diaplikasikan dan lebih mendominasi dari kegiatan diskusi, musyawarah dan hal hal yang mengarah pada peningkatan kualitas keilmuan mereka. Tidak berlebihan rasanya kalau penulis mengatakan bahwa waktu mahasiswa lebih banyak digunakan pada suatu proses yang kurang menjadikanya sebagai mahasiswa paripurna.
Dewasa ini, banyak mahasiswa yang terbius oleh trend yang sama sekali tidak memberikan kontribusi positif bagi dirinya. Sehingga mereka tidak sadar akan apa yang semestinya mereka lakukan sebagai maha siswa.
Suatu hari penulis duduk santai melepaskan lelah di taman kampus, dan disamping penulis ada dua orang yang kegirangan berbagi tawa, bercerita tentang hubungan asmara mereka. Ini membuktikan betapa romantisme (baca: pacaran) lebih asyik menjadi topik perbincangan mereka. Romantisme rasanya merupakan budaya yang sudah menjamur di kalangan mahasiswa. Diskusi hanya ada di dalam kelas, itupun dilakukan oleh mereka yang aktif.
Tanpa mau mengadili atupun menggurui, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengurai masalah atau menyalahkan romantisme di kampus. Tetapi ingin menyoroti hubungan romantisme dari perspektif kritis intelektualitas dan ingin membangunkan mereka dari keterlelapannya yang berselimutkan romantisme.
“Tanpa pacaran tidak semangat,” kalimat itu yang menjadi motto mereka. Tapi ini tidak membawanya pada kegiatan yang meningkatkan keilmuannya. Diskusi dikalagan para mahasiswa romantis hanya ketika ada tugas kuliah. Padahal mengandalkan pembelajan dalam kelas itu masih belum cukup untuk membuktikan kapasitas mahasiswa sebagai agent of knowledge dan masyarakat elit intelektual.
Romantisme bukanlah kata-kata kosong tanpa makna, namun bisa menjadi senjata ampuh untuk membangkitkan semangat dalam belajar yang direfleksikan dalam belajar bersama. Romantisme dengan buku harus lebih dominan dari romantisme yang dibungkus oleh hedonisme yang sama sekali tidak mengembangkan kualitas sebagai mahasiswa.
Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk membumbui romantisme dengan semangat belajar didalamnya. Semua itu dimaksudkan agar mahasiswa tidak hanya sebatas berpindah status belaka dari siswa. Dan tidak hanya ahli dan terkenal dalam perbincangan laki laki atau perempuan, dari segi ketampanan atau kecantikannya.
Ketika mahasiswa menganggap bahwa budaya belajar kurang penting, ini akan menjadikannya hanya sebatas mahasiswa kosong. Dan pemikirannya tidak semapan gelar yang disandangnya. Belum lagi jika berbicara biaya finansial yang dikeluarkan untuk kuliah. Kiriman (bagi anak kos) seakan cepat habis dan terus meminta lagi tanpa berfikir bagaimana orang tua mencari itu semua. Walupun memang biaya adalah tanggung jawab mereka, tapi kita harus punya kesadaran yang tinggi untuk benar-benar berproses di kampus.
Berbagi cerita sedikit, ketika sehabis UAS teman-teman sudah kembali ke kosan. Dengan duduk santai berbincang disertai camilan dan minuman teh diatas meja. Pada waktu itu keuangan penghuni kos mencukupi karena baru kembali dari rumah masing-masing. Pertanyaan yang saling dipertanyakan adalah “kamu diberi uang berapa dari rumahnya?” jawabanpun bermacam macam.
Tapi ada hal yang sama ketika orang tua memberi uang, mereka sambil berkata, “Awas kalau kuliah yang benar pikirkan orang tua dirumah yang cari biaya untukmu.” Walaupun orang tua tidak tau tentang kita, apakah kita berproses dengan benar atau tidak, tapi kita punya hati nurani untuk memikirkan itu semua.
Untuk berproses dengan intens dikampus, tentunya ini butuh kekuatan prinsip dari masing-masing mahasiswa. dengan begitu mereka tidak gampang ikut arus dan jeli dalam menyeleksi apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, menjadi mahasiswa paripurna yang bisa bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat akan terwujud. Bukan malah sebaliknya dengan memanfaatkan masyarakat demi kepentingan dirinya.
Demikian sedikit pemikiran yang penulis bisa torehkan melalui tulisan ini. Walaupun sangat sederhana, tapi semoga bermanfaat dalam mengupayakan proses yang semestinya dilakukan oleh maha siswa.
Wallahu a’lam
Oleh: Anshari Ys
Artikel ini telah dibaca 10 kali
Menyeimbangkan Romantisme dengan Intelektualitas
Perbesar
Mahasiswa bisa dikatakan profesi kemerdekaan baik dari segi pergaulan maupun pembelajaran. Jika sebelumnya mereka belajar setiap hari dalam kapasitasnya sebagai siswa, kini mereka mulai memasuki udara yang berbeda. Disini mereka dituntut oleh kesadaran diriya sebagai mahasiswa untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mahasiswa yang tidak memiliki kesadaran intelektual akan mengalami kegagapan pergaulan yang bisa menyeret dirinya dari identitasnya sebagai mahasiswa. Jika begitu, mahasiswa tak ubahnya hanya gelas kosong.
Di era sekarang ini sulit rasanya menemukan mahasiswa yang kosong dari hubungan romantisme. Ngedate dan ngapel merupakan kata kata yang tidak jarang diaplikasikan dan lebih mendominasi dari kegiatan diskusi, musyawarah dan hal hal yang mengarah pada peningkatan kualitas keilmuan mereka. Tidak berlebihan rasanya kalau penulis mengatakan bahwa waktu mahasiswa lebih banyak digunakan pada suatu proses yang kurang menjadikanya sebagai mahasiswa paripurna.
Dewasa ini, banyak mahasiswa yang terbius oleh trend yang sama sekali tidak memberikan kontribusi positif bagi dirinya. Sehingga mereka tidak sadar akan apa yang semestinya mereka lakukan sebagai maha siswa.
Suatu hari penulis duduk santai melepaskan lelah di taman kampus, dan disamping penulis ada dua orang yang kegirangan berbagi tawa, bercerita tentang hubungan asmara mereka. Ini membuktikan betapa romantisme (baca: pacaran) lebih asyik menjadi topik perbincangan mereka. Romantisme rasanya merupakan budaya yang sudah menjamur di kalangan mahasiswa. Diskusi hanya ada di dalam kelas, itupun dilakukan oleh mereka yang aktif.
Tanpa mau mengadili atupun menggurui, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengurai masalah atau menyalahkan romantisme di kampus. Tetapi ingin menyoroti hubungan romantisme dari perspektif kritis intelektualitas dan ingin membangunkan mereka dari keterlelapannya yang berselimutkan romantisme.
“Tanpa pacaran tidak semangat,” kalimat itu yang menjadi motto mereka. Tapi ini tidak membawanya pada kegiatan yang meningkatkan keilmuannya. Diskusi dikalagan para mahasiswa romantis hanya ketika ada tugas kuliah. Padahal mengandalkan pembelajan dalam kelas itu masih belum cukup untuk membuktikan kapasitas mahasiswa sebagai agent of knowledge dan masyarakat elit intelektual.
Romantisme bukanlah kata-kata kosong tanpa makna, namun bisa menjadi senjata ampuh untuk membangkitkan semangat dalam belajar yang direfleksikan dalam belajar bersama. Romantisme dengan buku harus lebih dominan dari romantisme yang dibungkus oleh hedonisme yang sama sekali tidak mengembangkan kualitas sebagai mahasiswa.
Bukanlah hal yang tidak mungkin untuk membumbui romantisme dengan semangat belajar didalamnya. Semua itu dimaksudkan agar mahasiswa tidak hanya sebatas berpindah status belaka dari siswa. Dan tidak hanya ahli dan terkenal dalam perbincangan laki laki atau perempuan, dari segi ketampanan atau kecantikannya.
Ketika mahasiswa menganggap bahwa budaya belajar kurang penting, ini akan menjadikannya hanya sebatas mahasiswa kosong. Dan pemikirannya tidak semapan gelar yang disandangnya. Belum lagi jika berbicara biaya finansial yang dikeluarkan untuk kuliah. Kiriman (bagi anak kos) seakan cepat habis dan terus meminta lagi tanpa berfikir bagaimana orang tua mencari itu semua. Walupun memang biaya adalah tanggung jawab mereka, tapi kita harus punya kesadaran yang tinggi untuk benar-benar berproses di kampus.
Berbagi cerita sedikit, ketika sehabis UAS teman-teman sudah kembali ke kosan. Dengan duduk santai berbincang disertai camilan dan minuman teh diatas meja. Pada waktu itu keuangan penghuni kos mencukupi karena baru kembali dari rumah masing-masing. Pertanyaan yang saling dipertanyakan adalah “kamu diberi uang berapa dari rumahnya?” jawabanpun bermacam macam.
Tapi ada hal yang sama ketika orang tua memberi uang, mereka sambil berkata, “Awas kalau kuliah yang benar pikirkan orang tua dirumah yang cari biaya untukmu.” Walaupun orang tua tidak tau tentang kita, apakah kita berproses dengan benar atau tidak, tapi kita punya hati nurani untuk memikirkan itu semua.
Untuk berproses dengan intens dikampus, tentunya ini butuh kekuatan prinsip dari masing-masing mahasiswa. dengan begitu mereka tidak gampang ikut arus dan jeli dalam menyeleksi apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, menjadi mahasiswa paripurna yang bisa bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat akan terwujud. Bukan malah sebaliknya dengan memanfaatkan masyarakat demi kepentingan dirinya.
Demikian sedikit pemikiran yang penulis bisa torehkan melalui tulisan ini. Walaupun sangat sederhana, tapi semoga bermanfaat dalam mengupayakan proses yang semestinya dilakukan oleh maha siswa.
Wallahu a’lam
Oleh: Anshari Ys
Artikel ini telah dibaca 0 kali
Baca Lainnya
Trending di opini