Oleh: Indah Syarqawi
Ku ikat perlahan tali sepatu merah jambu yang ku pakai sambil sesekali mencuri pandang pada seorang perempuan paruh baya yang kini sedang menyiram bunga ditaman rumahnya. Tali sepatuku sudah terikat rapi aku beranjak hendak pergi sembari membuka gerbang rumah dan sejenak mengintipnya lagi, biasanya wanita itu akan diam-diam memperhatikanku dan benar saja lagi-lagi ia menatapku dengan sorot tajam matanya yang tak biasa; bahkan lebih terkesan menakutkan, anehnya hari ini ia tak lagi diam-diam ia tetap menatapku sekalipun aku menoleh dan tersenyum selayaknya tetangga sebagai tanda permisi.
Sesekali ia menghampiriku, memintaku jangan ramai di rumah ini, memintaku perlahan membuka pintu gerbang dan sesekali memarahiku untuk alasan yang tak pasti.Pernah suatu ketika ia mengetuk pintu rumahku dan mngantarkan sepiring makanan, aku mengambilnya tetapi tak kunjung memakannya sempat terbesit kecurigaan takut ada sesuatu yang ia bubuhkan dimakanan ini jadi aku mengintipi rumahnya dulu disebrang jalan. Kulihat rumah itu memang ramai, aku mencoba meluruskan pikiranku berpikir positif mungkin saja ada hajatan dan sebagai tetangga yang baik yang selalu memperhatikanku secara diam-diam ia merasa bersalah sehingga ia mencoba berdamai dengan cara mengirimkan makanan ini sebagai tanda permohonan maaf, “baiklah aku sedang lapar, aku akan memakannya”.
Sejak kejadian itu aku merasa permpuan itu semakin ramah padaku ia sering menyapa dan tersenyum sambil menyiram bunga mawarnya, ia juga sering memberiku makanan katanya makanan itu lebih karena ia hanya hidup berdua dari pada suaminya jadi dari pada membuangnya ia memberikannya padaku padahal bisa saja ia memasak lebih sedikit, hal aneh lainnya yang ia pernah lakukan ia menawariku mawar merah miliknya tapi aku menolaknya karena alergi serbuk bunga mawar, anehnya setelah ku tolak ia langsung masuk kedalam rumahnya tanpa berkata apapun.
Aku menceritakan kejadian-kejadian itu pada teman kos ku dan mereka terkejut perempuan itu bisa bersikap ramah, jadi tidak ada seorangpun dari teman-teman kos yang pernah diperlakukan demikian, hanya aku sorang. Beberapa hari kemudian aku mengetahui fakta baru bahwa perempuan itu memang tidak pernah berinteraksi dengan anak kos lain diperumahan ini, gosip cepat menyebar diantara kami aku yakin temanku tidak berbohong bahwa memang anak kos yang berinteraksi dengannya benar-benar hanya aku seorang.
Dua bulan kemudian adalah hari dimana aku memutuskan pindah dari kos, tentu saja bukan karena perempuan paruh baya itu tetapi orang tuaku memintaku pindah ke rumah baru kakak perempuanku yang dua kali lebih besar dari rumah sebelumnya agar bisa membantu dan menemani kakakku karena suaminya sering ada bisnis ke luar kota. Hari itu aku ingat sekali bagaimana perempuan itu tiba-tiba menangis lalu berlari masuk ke dalam rumahnya saat tau aku akan pindah dari rumah ini, dan suaminya mengatakan maaf padaku sebelum menyusul istrinya.
Setahun kemudian…
“Rahma, ada bapak-bapak yang nyari kamu di luar,”
“Siapa kak?”
“Gak tau, katanya tetangga kos mu dulu,”
Pikiranku memutar ulang bayangan pasangan suami istri paruh baya itu melintas tapi tidak mungkin pikirku untuk apa pula ia kemari. Namun ternyata dugaanku benar, bapak-bapak yang sekarang berdiri di depanku adalah suami perempuan itu.
“Namamu Rahma kan nak,? Terimalah bunga ini.”
Raut wajahnya yang mulai menua tersenyum padaku sambil mengulurkan sekuntum bunga mawar merah yang sudah dihias dengan cantik. Aku menerimanya dengan takut sampai lupa pada alergiku. Ia kembali tersenyum.
“Terimakasih nak dan maafkan istriku, mungkin perlakuannya padamu sering membuatmu risih, dia bersikap berbeda padamu kan? Itu karena dia menyukaimu. Dua tahun yang lalu saat kamu baru saja pindah ke rumah kos di sebrang jalan rumah kami sejujurnya bapak juga terkejut nak, wajahmu sangat mirip dengan putri kami dan itu membuat luka kami kembali hidup, istriku tidak mampu menghadapinya setiap kali dia melihatmu dia menganggapmu seolah kamu adalah anak kami yang sudah meninggal” .
“Putri kami sangat menyukai bunga mawar merah, istriku kembali merawatnya sejak kami bertemu denganmu tapi saat itu kamu tidak tau dan kamu alergi bunga itu jadi kamu menolaknya. Sekarang terimalah nak bunga ini pemberian terakhir dari kami, istriku meninggal seminggu yang lalu dan keinginan terakhirnya dia memintaku memberikan bunga mawar ini untukmu. Maafkan kami nak, dan trimakasih. bapak pamit dulu”.
Bapak itu pergi meninggalkan aku yang masih tertegun seorang diri. Aku pegang dengan erat buket mawar ditanganku meski sesekali bersin karena alergi. Di buket itu kulihat terselip foto seorang gadis yang benar-benar mirip denganku.
Sumenep, Juli 2020