Oleh: Eiffah E*
Hari ini hujan. Walau sudah berlari kencang dari sekolah menuju rumah, pada akhirnya pakaianku basah juga. Aku segera menuju kamar mandi untuk berbilas dan berganti pakaian. Saat menuju kamar mandi, aku melewati sebuah ruangan yang walau sudah terbiasa melewatinya, mataku tak bisa berhenti menatap dengan tatapan tak suka. Aku melengos lalu segera masuk ke kamar mandi. Belum selesai pekerjaanku, terdengar suara gedoran pintu, namun aku tidak terlalu memedulikannya. Toh, itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku.
Suara itu akhirnya berhenti ketika aku membuka pintu ruangan. Aku berhenti sejenak, mengibaskan tangan saat tercium bau apek kayu lapuk bercampur dengan bau kotoran yang memualkan.
“Selamat siang, ayah,” sapaku mencoba ramah. Sedang pria yang kusebut ayah itu hanya menatapku heran lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Aku berjalan sejenak mengitari ruangan, sekedar menyapa maneken-maneken yang teronggok bisu di atas meja kecil di sudut ruangan. Sekitar sembilan maneken lainnya diletakkan sembarang di lantai sekitar meja. Sementara di sudut lain ayahku duduk meringkuk sambil mengelus maneken perempuan kecil yang sudah usang dan patah di sana-sininya. Tak lama dari itu, aku membawa makanan dan meletakkannya di depan ayah. Ia sedikit berontak saat aku mengambil maneken itu dari sisinya.
“Makan dulu,” kataku sambil mengelus kepalanya.
Ia tersenyum lembut, menurut. Senyum yang sejak dahulu tetap sama. Lengkungan dan lesung pipinya tetap jelas meski bercampur-aduk dengan kulitnya yang telah keriput. Bedanya, senyum itu sekarang dimiliki oleh tubuhnya yang renta dan ringkih, yang bicara pun mulai tak jelas, yang tubuh maupun jiwanya kian tak terurus.
Bukan aku tak mau mengurus ayah, hanya saja aku tak ingin berlama-lama berada di ruangan ayah bersama maneken-maneken itu. Aku tak ingin berlama-lama berkutat dengan kenangan buruk lima tahun silam. Seorang anak yang waktu itu berumur enam tahun dan belum mengerti apa-apa harus menyaksikan ibunya bunuh diri di hadapannya.
Kalau saja aku tahu akhirnya akan seperti ini, aku tak akan mengajukan banyak pinta pada orang tuaku. Toh, itu hanya sekedar ocehan bocah berumur enam tahun yang tak mengerti apa-apa. Pada akhirnya pun aku melupakan keinginan-keinginan itu. Aku juga tak seharusnya memberi ruang pada telinga untuk mendengar ocehan-ocehan mulut cecunguk itu tentang keadaan keluargaku, aku tidak seharusnya menginginkan kehidupan yang sempurna kalau pada dasarnya aku dan keluargaku mempunyai takdir yang bebeda.
Belum lagi setelah aku sebesar ini, saat aku tahu dan mulai mengerti apa yang terjadi, aku semakin membenci semua yang berhubungan dengan kenangan itu. Ayah, ibu, orang-orang, juga maneken-maneken itu. Ah, ya, maneken-maneken itu milik mendiang ibu. Biasa dipakainya ketika berjualan pakaian di pasar kecamatan.
Sebenarnya, pada awal-awal berjualan, ibu tidak terlalu tertarik untuk menggunakan maneken. Selain karena memang harganya yang terlampau mahal untuk orang miskin seperti kami, ibu tidak ingin menggunakan cara orang lain untuk menarik perhatian pembeli. Tapi itu hanya tinggal kata. Ketika pesaing sudah mulai bermunculan, akhirnya ibu juga menggunakan maneken-maneken itu.
Aku teramat senang ketika ibu memutuskan untuk menggunakan maneken. Aku bisa memainkannya selagi tidak dipakai. Apalagi maneken-maneken itu buatan ayah, itu terasa semakin spesial untuk aku.
Hasil penjualan ibu meningkat pesat sebab maneken. Kehidupan kami juga semakin membaik. Belum lagi ayah yang dipercaya menjadi pimpinan panti asuhan sekaligus guru agama. Kehidupanku terasa berbalik hingga beberapa derajat. Semua keinginanku rasanya sudah selangkah menuju nyata.
Namun Tuhan juga begitu Kuasa. Ia dapat membolak-balikkan segala hal dengan mudah, bahkan lebih mudah dari pada yang telah kami lewati untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Aku serasa diangkat ke atas awan dalam sedetik, lalu dijatuhkan ke palung lautan. Mungkin manusia memang tidak seharusnya mengotak-atik takdir.
Pun aku tak bisa mengubah takdir bahwa aku hidup sampai sekarang, meski sangat ingin aku mengejar ibu, bertanya maksud dari perkataan ibu padaku sesaat sebelum nyawa ibu melayang di tiang gantungan.
“Kalau saja aku tidak terlalu memaksa, kalau saja aku tidak terkurung oleh ambisi busuk ini, dan haruskah aku menyalahkan takdir Tuhan?”
Hah, betapa manusia suka menyalahkan!
Pada akhirnya aku tahu kalau maneken-maneken itu ayah buat dari anak-anaknya di panti asuhan. Haruskah aku membenci ayah sedang ayah membuatnya karena permintaan ibu? Lalu haruskah aku membenci ibu sedang ibu melakukannya demi aku, anak satu-satunya yang meminta kehidupan yang sempurna? Apakah akhirnya aku harus membenci diriku sendiri? Apakah ibu juga merasa bersalah hingga rela bunuh diri? Apakah ayah juga merasa seperti itu sampai-sampai mengurung diri di ruangan ini?
Kalaupun ayah merasa bersalah, ia tidak akan seperti ibu yang sampai bunuh diri karena rasa bersalahnya. Jauh di bagian terdalam hati, aku merasa kagum pada ayah yang lebih percaya pada takdir Tuhan dari pada nafsu dan rasa egois. Setidaknya, ayah masih menyayangi tubuh yang Tuhan ciptakan.
“Nak,” suara ayah setelah sekian lama bungkam. Aku tidak menyangka bila masih ada kesadaran pada diri ayah untuk sekadar berbicara.
“Jangan pernah membenci ibumu. Dia tahu kalau ini adalah anaknya yang dulu hilang,” katanya sambil mengusap pucuk kepala maneken perempuan kecil di pangkuannya.
Karangcempaka, 11 Desember 2018
* Bernama lengkap Eiffah Eizzatul Umami. Lahir di Sumenep, 27 Agustus 2001. Aktif di Sanggar Alfabet pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka-Bluto Sumenep, dalam kelas kreatif “Menulis Cerpen”. Penyuka musik, sastra, tumpukan buku, dan senja.