Mahasiswa vs Romantisme Intelektual
Perbesar
Maraknya nuansa romantisme di STAIN Pamekasan semakin melekat dan berkembang, bahkan tak aral kita jumpai mahasiswa dan mahasiswi duduk berdua yang mana sudah menjadi pemandangan indah tersendiri. Padahal kampus yang notabene islam ini tidak lepas dari mata kuliah yang beraroma islami. Dari segi keintelektualannya semakin menurun dan terus merosot, berbeda dengan mahasiswa tempo dulu yang mana dari keilmuannya tidak diragukan lagi.
Menurunnya intelektual mahasiswa karena dipengaruhi banyak faktor pemicu. Selaras dengan yang disampaikan Atiqullah selaku PK III, menurunnya intelektual mahasiswa bisa diakibatkan karena faktor pendidikan sebelumnya. Begitu juga pengkaderan yang kurang intens terhadap mahasiswa, baik oleh kampus maupun organisasi intra lainnya.
Romantisme sebenarnya tidak menghambat berkembangnya intelektual mahasiswa, malahan bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa menuju kematangan berpikir jika ditempatkan dengan baik. Pasangan seharusnya bisa dijadikan partner untuk berdiskusi serta belajar bersama, karena sampai saat ini mahasiswa jarang melakukan diskusi-diskusi kecil, tambahnya.
Mengenai romantisme yang berkembang, Siswanto selaku dewan kode etik mengatakan hubungan mahasiswa tidak mengarah pada hal yang melanggar agama, akan tetapi kebanyakan mahasiswa menggunakan berbagai alasan untuk bersama dengan pasangannya, padahal hanya sebagai tameng. Kewajiban untuk mengembalikan paradigma mahasiswa mengenai romantisme adalah kewajiban semua civitas akademika, baik dari dosen ataupun mahasiswa itu sendiri. Wali studi seharusnya mampu mendampingi anak didiknya, bukan hanya ada pada saat pengambilan KRS.
Rofi’i (TBI/2) beranggapan, sejatinya mahasiswa tidak hanya melakukan romantisme, namun berintelektual mapan itu juga merupakan hal wajib yang harus ada pada jiwa mahasiswa. Setidaknya harus ada kesimbangan antara romantisme dan intelektualitas.
Aisyah (PBS) mengatakan intelektual lebih penting daripada beromantisme. Karena ketika diseimbangkan antara intelektual dan romantisme, otomatis akan sulit untuk mengontrolnya. Sehingga intelektual lebih diutamakan daripada romantisme. Namun sebagai jiwa muda mahasiswa tidak harus membuang romantisme.
Halimah selaku dosen STAIN mengatakan, merosotnya kualitas intelektual mahasiswa karena pengaruh informasi global yang berimbas kepada gaya hidup dengan tanpa adanya filterisasi. Hal itulah yang menimbulkan efek negatif sehingga mahasiswa cenderung untuk beromantisme secara tidak sehat. Perkembangan informasi yang seharusnya dijadikan bahan untuk menggali keintelektualan mahasiswa, justru menjadi bumerang yang mengikis keintelektualan melalui romantisme yang tidak sehat.
Atiqullah berharap agar citra mahasiswa kembali pada nilai-nilai bangsa yang dianut dan lingkungannya. Siswanto berharap, mahasiswa mampu menyadari hakikat kemanusiaannya yang mana dan dari mana dia lahir dan kemana dia akan kembali. Ketika mahasiswa menyadari hakikat kemanusiaannya, maka akan cenderung untuk terus berproses menjadi intelektualis yang mapan.
(Crew MITRA)
Artikel ini telah dibaca 8 kali
Mahasiswa vs Romantisme Intelektual
Perbesar
Maraknya nuansa romantisme di STAIN Pamekasan semakin melekat dan berkembang, bahkan tak aral kita jumpai mahasiswa dan mahasiswi duduk berdua yang mana sudah menjadi pemandangan indah tersendiri. Padahal kampus yang notabene islam ini tidak lepas dari mata kuliah yang beraroma islami. Dari segi keintelektualannya semakin menurun dan terus merosot, berbeda dengan mahasiswa tempo dulu yang mana dari keilmuannya tidak diragukan lagi.
Menurunnya intelektual mahasiswa karena dipengaruhi banyak faktor pemicu. Selaras dengan yang disampaikan Atiqullah selaku PK III, menurunnya intelektual mahasiswa bisa diakibatkan karena faktor pendidikan sebelumnya. Begitu juga pengkaderan yang kurang intens terhadap mahasiswa, baik oleh kampus maupun organisasi intra lainnya.
Romantisme sebenarnya tidak menghambat berkembangnya intelektual mahasiswa, malahan bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa menuju kematangan berpikir jika ditempatkan dengan baik. Pasangan seharusnya bisa dijadikan partner untuk berdiskusi serta belajar bersama, karena sampai saat ini mahasiswa jarang melakukan diskusi-diskusi kecil, tambahnya.
Mengenai romantisme yang berkembang, Siswanto selaku dewan kode etik mengatakan hubungan mahasiswa tidak mengarah pada hal yang melanggar agama, akan tetapi kebanyakan mahasiswa menggunakan berbagai alasan untuk bersama dengan pasangannya, padahal hanya sebagai tameng. Kewajiban untuk mengembalikan paradigma mahasiswa mengenai romantisme adalah kewajiban semua civitas akademika, baik dari dosen ataupun mahasiswa itu sendiri. Wali studi seharusnya mampu mendampingi anak didiknya, bukan hanya ada pada saat pengambilan KRS.
Rofi’i (TBI/2) beranggapan, sejatinya mahasiswa tidak hanya melakukan romantisme, namun berintelektual mapan itu juga merupakan hal wajib yang harus ada pada jiwa mahasiswa. Setidaknya harus ada kesimbangan antara romantisme dan intelektualitas.
Aisyah (PBS) mengatakan intelektual lebih penting daripada beromantisme. Karena ketika diseimbangkan antara intelektual dan romantisme, otomatis akan sulit untuk mengontrolnya. Sehingga intelektual lebih diutamakan daripada romantisme. Namun sebagai jiwa muda mahasiswa tidak harus membuang romantisme.
Halimah selaku dosen STAIN mengatakan, merosotnya kualitas intelektual mahasiswa karena pengaruh informasi global yang berimbas kepada gaya hidup dengan tanpa adanya filterisasi. Hal itulah yang menimbulkan efek negatif sehingga mahasiswa cenderung untuk beromantisme secara tidak sehat. Perkembangan informasi yang seharusnya dijadikan bahan untuk menggali keintelektualan mahasiswa, justru menjadi bumerang yang mengikis keintelektualan melalui romantisme yang tidak sehat.
Atiqullah berharap agar citra mahasiswa kembali pada nilai-nilai bangsa yang dianut dan lingkungannya. Siswanto berharap, mahasiswa mampu menyadari hakikat kemanusiaannya yang mana dan dari mana dia lahir dan kemana dia akan kembali. Ketika mahasiswa menyadari hakikat kemanusiaannya, maka akan cenderung untuk terus berproses menjadi intelektualis yang mapan.
(Crew MITRA)
Artikel ini telah dibaca 0 kali
Baca Lainnya
Trending di Liputan Khusus