Menu

Mode Gelap
HMPS Ekonomi Syari’ah Adakan Entrepreneurship Workshop Semarak Bulan Bahasa, HMPS TBIN Adakan Pemilihan Duta Bahasa Indonesia IAIN Madura Gelar Pisah Sambut Kabiro AUAK IAIN Madura Tidak Masuk 3 Besar Kampus Terbaik di Madura Versi Kemendikbudristek RI Dianggap Tidak Mendidik, Konten IMTV Mendapat Kritikan

Artikel Lawas · 15 Mei 2013 17:29 WIB ·

Mahasiswa vs Romantisme Intelektual


 Mahasiswa vs Romantisme Intelektual Perbesar

Maraknya nuansa romantisme di STAIN Pamekasan semakin melekat dan berkembang, bahkan tak aral kita jumpai mahasiswa dan mahasiswi duduk berdua yang mana sudah menjadi pemandangan indah tersendiri. Padahal kampus yang notabene islam ini tidak lepas dari mata kuliah yang beraroma islami. Dari segi keintelektualannya semakin menurun dan terus merosot, berbeda dengan mahasiswa tempo dulu yang mana dari keilmuannya tidak diragukan lagi.

Menurunnya intelektual mahasiswa karena dipengaruhi banyak faktor pemicu. Selaras dengan yang disampaikan Atiqullah selaku PK III, menurunnya intelektual mahasiswa bisa diakibatkan karena faktor pendidikan sebelumnya. Begitu juga pengkaderan yang kurang intens terhadap mahasiswa, baik oleh kampus maupun organisasi intra lainnya.

Romantisme sebenarnya tidak menghambat berkembangnya intelektual mahasiswa, malahan bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa menuju kematangan berpikir jika ditempatkan dengan baik. Pasangan seharusnya bisa dijadikan partner untuk berdiskusi serta belajar bersama, karena sampai saat ini mahasiswa jarang melakukan diskusi-diskusi kecil, tambahnya.

Mengenai romantisme yang berkembang, Siswanto selaku dewan kode etik mengatakan hubungan mahasiswa tidak mengarah pada hal yang melanggar agama, akan tetapi kebanyakan mahasiswa menggunakan berbagai alasan untuk bersama dengan pasangannya, padahal hanya sebagai tameng.  Kewajiban untuk mengembalikan paradigma mahasiswa mengenai romantisme adalah kewajiban semua civitas akademika, baik dari dosen ataupun mahasiswa itu sendiri. Wali studi seharusnya mampu mendampingi anak didiknya, bukan hanya ada pada saat pengambilan KRS.

Rofi’i (TBI/2) beranggapan, sejatinya mahasiswa tidak hanya melakukan romantisme, namun berintelektual mapan itu juga merupakan hal wajib yang harus ada pada jiwa mahasiswa. Setidaknya harus ada kesimbangan antara romantisme dan intelektualitas.

Aisyah (PBS) mengatakan intelektual lebih penting daripada beromantisme. Karena ketika diseimbangkan antara intelektual dan romantisme, otomatis akan sulit untuk mengontrolnya. Sehingga intelektual lebih diutamakan daripada romantisme. Namun sebagai jiwa muda mahasiswa tidak harus membuang romantisme.

Halimah selaku dosen STAIN mengatakan, merosotnya kualitas intelektual mahasiswa karena pengaruh informasi global yang berimbas kepada gaya hidup dengan tanpa adanya filterisasi. Hal itulah yang menimbulkan efek negatif sehingga mahasiswa cenderung untuk beromantisme secara tidak sehat. Perkembangan informasi yang seharusnya dijadikan bahan untuk menggali keintelektualan mahasiswa, justru menjadi bumerang yang mengikis keintelektualan melalui romantisme yang tidak sehat.

Atiqullah berharap agar citra mahasiswa kembali pada nilai-nilai bangsa yang dianut dan lingkungannya. Siswanto berharap, mahasiswa mampu menyadari hakikat kemanusiaannya yang mana dan dari mana dia lahir dan kemana dia akan kembali. Ketika mahasiswa menyadari hakikat kemanusiaannya, maka akan cenderung untuk terus berproses menjadi intelektualis yang mapan.
(Crew MITRA)

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Artikel Lawas · 15 Mei 2013 17:29 WIB ·

Mahasiswa vs Romantisme Intelektual


 Mahasiswa vs Romantisme Intelektual Perbesar

Maraknya nuansa romantisme di STAIN Pamekasan semakin melekat dan berkembang, bahkan tak aral kita jumpai mahasiswa dan mahasiswi duduk berdua yang mana sudah menjadi pemandangan indah tersendiri. Padahal kampus yang notabene islam ini tidak lepas dari mata kuliah yang beraroma islami. Dari segi keintelektualannya semakin menurun dan terus merosot, berbeda dengan mahasiswa tempo dulu yang mana dari keilmuannya tidak diragukan lagi.

Menurunnya intelektual mahasiswa karena dipengaruhi banyak faktor pemicu. Selaras dengan yang disampaikan Atiqullah selaku PK III, menurunnya intelektual mahasiswa bisa diakibatkan karena faktor pendidikan sebelumnya. Begitu juga pengkaderan yang kurang intens terhadap mahasiswa, baik oleh kampus maupun organisasi intra lainnya.

Romantisme sebenarnya tidak menghambat berkembangnya intelektual mahasiswa, malahan bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa menuju kematangan berpikir jika ditempatkan dengan baik. Pasangan seharusnya bisa dijadikan partner untuk berdiskusi serta belajar bersama, karena sampai saat ini mahasiswa jarang melakukan diskusi-diskusi kecil, tambahnya.

Mengenai romantisme yang berkembang, Siswanto selaku dewan kode etik mengatakan hubungan mahasiswa tidak mengarah pada hal yang melanggar agama, akan tetapi kebanyakan mahasiswa menggunakan berbagai alasan untuk bersama dengan pasangannya, padahal hanya sebagai tameng.  Kewajiban untuk mengembalikan paradigma mahasiswa mengenai romantisme adalah kewajiban semua civitas akademika, baik dari dosen ataupun mahasiswa itu sendiri. Wali studi seharusnya mampu mendampingi anak didiknya, bukan hanya ada pada saat pengambilan KRS.

Rofi’i (TBI/2) beranggapan, sejatinya mahasiswa tidak hanya melakukan romantisme, namun berintelektual mapan itu juga merupakan hal wajib yang harus ada pada jiwa mahasiswa. Setidaknya harus ada kesimbangan antara romantisme dan intelektualitas.

Aisyah (PBS) mengatakan intelektual lebih penting daripada beromantisme. Karena ketika diseimbangkan antara intelektual dan romantisme, otomatis akan sulit untuk mengontrolnya. Sehingga intelektual lebih diutamakan daripada romantisme. Namun sebagai jiwa muda mahasiswa tidak harus membuang romantisme.

Halimah selaku dosen STAIN mengatakan, merosotnya kualitas intelektual mahasiswa karena pengaruh informasi global yang berimbas kepada gaya hidup dengan tanpa adanya filterisasi. Hal itulah yang menimbulkan efek negatif sehingga mahasiswa cenderung untuk beromantisme secara tidak sehat. Perkembangan informasi yang seharusnya dijadikan bahan untuk menggali keintelektualan mahasiswa, justru menjadi bumerang yang mengikis keintelektualan melalui romantisme yang tidak sehat.

Atiqullah berharap agar citra mahasiswa kembali pada nilai-nilai bangsa yang dianut dan lingkungannya. Siswanto berharap, mahasiswa mampu menyadari hakikat kemanusiaannya yang mana dan dari mana dia lahir dan kemana dia akan kembali. Ketika mahasiswa menyadari hakikat kemanusiaannya, maka akan cenderung untuk terus berproses menjadi intelektualis yang mapan.
(Crew MITRA)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Anggota Magang Reguler Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Bagikan Pengalaman Selama Magang di Kabar Madura

8 Oktober 2024 - 04:19 WIB

Pelaksanaan praktikum Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Madura di Kabar Madura

Empat Mahasiswa Lakukan Praktikum di KPID Jawa Timur, Siap Kontribusi dalam Pengawasan Penyiaran

7 Oktober 2024 - 12:05 WIB

Praktikum di Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur.

Sukses Gelar Malam Puncak Penutupan Posko 1 Desa Baddurih, Banyaknya Hadiah Meriahkan Acara

17 September 2024 - 14:41 WIB

KKN Posko 1 Desa Baddurih

HMPS HTN Laksanakan Dialog Hukum dan Konstitusi, Kaprodi Sebut Itu Karakter Mahasiswa Hukum

15 September 2024 - 05:36 WIB

Dialog Hukum dan Konstitusi HMPS HTN 2024

Adakan Opening Capital Market Festival, KSPM GIS BEI Ajak Mahasiswa Berinvestasi Hindari Judi Online

10 September 2024 - 01:31 WIB

Opening Capital Market Festival, KSPM GIS BEI IAIN Madura

Prodi IQT Akreditasi Unggul! Dekan FAUD Anggap Sebagai Modal Penting tuk Unjuk Gigi

3 September 2024 - 06:46 WIB

Akreditasi Unggul Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Trending di Liputan Khusus