udah 21 tahun berselang Indonesia bangkit dari keterpurukan. Bulan Mei 1998 menjadi masa kelam bagi Indonesia. Berbagai peristiwa terjadi di penjuru kota. Meskipun berakhir dengan kepuasan, namun tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakannya.
Krisis moneter menjadi kronologi awal bagi masa kelam Indonesia kala itu. Penurunan nilai rupiah terhadap dollar AS menimbulkan harga pangan meningkat.
Sehingga keresahan dan kekhawatiran masyarakat pun menjadi pemicu terjadinya aksi ktitikan terhadap tezim orde baru.
Dalam peristiwa ini, Medan menjadi kota pertama yang melakukan aksi, 02 Mei 1998. Agent of change yang melekat dalm diri mahasiswa ditunjukkan dalm aksi tersebut.
Kritik dan unjuk rasa digencarkan oleh mereka. Na’asnya, aksi tersebut tidak memberikan hasil yang cukup puas bagi sederetan mahasiswa dan masyarakat. Aksi yang berakhir anarkis menjadi alasan mereka untuk terus menggencarkan pada aksi-aksi selanjutnya. Bahkan muncul gerakan anti polisi yang melakukan pembakaran di beberapa titik.
Tidak hanya sampai disitu, Medan-Jakarta-Surakarta menjadi kota terbesar yang mengalami kerusuhan. Aksi mahasiswa secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk sama-sama melakukan aksi dan mengkritik pemerintah. Semangat mahasiswa kala itu memang tidak dapat dihentikan.
Kerusuhan semakin parah ketika terjadi penembakan terhadap empat mahasiswa trisakti oleh aparat keamanan, pada tanggal 12 Mei 1998. Perasaan tidak terima dan senasib menjadi sumbu bangkitnya kobaran semangat mereka. Mahasiswa semakin gencar dalam melakukan aksinya terhadap rezim orde baru.
Dalam kerusuhan yang terjadi di Indonesia, etnis Tionghoa juga menjadi sasaran amukan massa. Munculnya oknum tidak bertanggung jawab yang menjadi provokator dalam mengadu domba masyarakat pribumi adalah pemicu utamanya. Tindakan menprovokasi menimbulkan stigmasi bahwa etnis Tionghoa telah mengambil alih dan mencari keuntungan atas bangsa Indonesia. Sehingga kekerasan dan pelecehan seksual banyak dialami oleh etnis Tionghoa kala itu.
Peristiwa terus bergulir dari waktu ke waktu. 13-15 Mei 1998 menjadi masa paling parah sepanjang sejarah di Indonesia. Data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat 1.217 orang tewas dalam insiden tersebut. Peristiwa mereda, setelah Soeharto dipaksa turun dari jabatannya, 21 Mei 1998.
Meskipun telah berlangsung selama kurang lebih dua dasawarsa, kerusuhan Mei 1998 tidak hilang begitu saja dalam ingatan keluarga dan mereka yang menyaksikan langsung insiden tersebut. Untuk mengenang peristiwa tersebut, hari kemarin aktivis 1998 melakukan tabur bunga di pemakaman para korban. Mengharukan bukan? Mereka yang pernah menyandang status mahasiswa, sampai saat ini jiwa mahasiswa masih tertanam kuat dalam dirinya.
Dari fenomena yang terjadi pada Mei 1998, sepertinya mahasiswa milenial perlu belajar pada kegigihan mereka.
Perbandingan yang cukup jauh sangat kita rasakan saat ini. Melihat catatan sejarah, mahasiswa era 1998 memiliki keberanian yang besar untuk melakukan perubahan. Bukan hanya harta, nyawa pun mereka korbankan. Mari melihat masa sekarang! Mungkin kita hanya generasi gadget yang kurang peduli keadaan. Saat kebebasan dilonggarkan, sikap bodo amat terhadap negeri lebih besar daripada untuk sekedar mengkritisi pemerintah.
Pada dasarnya, melakukan perubahan tifak harus 100% sama dengan mereka. Jika kita tidak mampu dengan aksi lisan sebagaimana mereka yang mengkritisi secara langsung, cobalah dengan tulisan. Sejenak flashback pada tokoh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dengan kemampuan menulisnya, ia menuangkan kritikan dan kehidupan Indonesia melalui oretan penanya. Sehingga, tidak heran ketika ia harus keluar masuk penjara lantaran ketajaman penanya.
Jika tidak mampu dengan lisan, ciptakan perubahan melalui tulisan. Tulisan yang tajam sering kali membuat mereka gemetar dan berpeluh keringat. Jangan takut, selama masih dalam zona kebenaran. Tugas penulis adalah menulis, mengenai respon, biarkan pembaca yang menentukan (PU LPM Activita). Belajarlah dari kobaran semangat mahasiswa (aktivis) 1998.
Fitriatul Laili (Tria’trie/TIPS)