![]() |
Penulis : Aqil Husain (Mahasiswa Prodi AHS/2) |
Pandemi Corona yang mengguncang dunia seolah menjadi monster yang mengancam. Bagaimana tidak? Hal kecil tak kasat mata inipun sukses mengusutkan segala aspek kehidupan manusia di dunia, baik dari mobilitas perekonomian, pendidikan, dan lain-lain. Dibuktikan dengan ditutupnya pusat perbelanjaan , Kampus swasta sampai negeri pun menggembok segala sarananya demi mencegah penyebaran wabah tersebut. Pandemi dunia ini akan menjadi sejarah yang tidak akan pernah dilupakan.
Demi kemashlahatan dan mencegah cepatnya penularan, banyak kampus khususnya di Indonesia, memberikan kebijakan berupa kuliah jarak jauh, kemasan perkuliahannya pun tidak seperti biasa dan beragam, mayoritas praktiknya melalui media online sebagai penunjang utamanya, baik melalui aplikasi Whatsapp, Google Classroom, Dan Zoom Class Video menjadi pilihan sebagian besar dosen sebagai media pembelajaran.
Aplikasi dengan ukuran besar harus didownload para mahasiswa untuk menggantikan kelas ber-AC yang selama ini mereka tempati. Powerpoint, dokumen,dan file-file yang menumpuk harus diunduh untuk menggantikan penjelasan dari dosen atau presentasi mahasiswa yang selama ini mereka rasakan. Jika semua dikalkulasi, maka akan banyak ruang ponsel yang akan diperlukan untuk kuliah.
Hal ini mungkin bukan masalah serius untuk mereka yang sudah memiliki ponsel dengan penyimpanan dan RAM di atas 3 Giga byte. Namun, bagaimana dengan mereka yang setiap hari ke kampus tanpa android di tangannya? Atau mereka yang memiliki android dengan RAM yang sangat sedikit, seperti 1 GB, dan bahkan 500 MB. Karena, realitas membuktikan, sebagian mahasiswa masih belum memiliki Android dikarenakan ekonomi keluarga dan ada juga beberapa mahasiswa yang memiliki android namun android dengan penyimpanan atau RAM yang sangat sedikit.
Dan faktanya, ada sebagian dosen tidak mau tahu dengan hal tersebut, yang penting mereka harus mengikuti perkuliahan tanpa harus berbasa-basi dengan alasan. Mereka (sebagian dosen) seperti tidak sadar akan konsekuensi yang ditimbulkan nantinya, misalkan jika mahasiswa nekat mencuri, atau meminta paksa orangtuanya untuk membelikannya android (Na’udzubillah), sedangkan untuk makan saja susah misalnya. Siapa yang akan bertanggungjawab?, bukankah didikan dan pengawasan bagi mahasiswa juga penting?.
“Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kuliah online, entah itu tidak memiliki Android, dan tidak memiliki kuota internet, semua wajib mengikuti” salah satu kalimat kontrak belajar dari beberapa dosen yang melatarbelakangi saya untuk menulis ini.
Di satu sisi, kuliah online sebagai pengganti kelas biasa memang penting untuk melangsungkan kegiatan belajar mengajar (KBM) di tengah pandemi yang sedang bergema. Namun dispensasi juga harus diberikan kepada mereka yang kesulitan, kesulitan dalam membeli atau meminjam Android, kesulitan dalam membeli kuota internet, dan bahkan kesulitan dalam kecepatan jaringan yang kadang dialami oleh mereka yang tinggal di pedalaman, atau di daerah pesisir.
Dispensasi dalam hal ini penting, agar mahasiswa/mahasiswi yang bersangkutan tidak stress dengan hal tersebut. Misalkan, sebelumnya dosen bekerjasama dengan kordinator kelas dari setiap kelas meminta untuk diambil data siapa saja yang berhalangan untuk mengikuti kelas online karena alasan dan bukti yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, kemudian dosen memberikan dispensasi, atau paling tidak memberikan arahan kepada mereka yang berhalangan dan memberikannya solusi. Di dalam hukum islam atau hukum sipil, dispensasi hukum juga diterapkan karena memang diperlukan.
Maka, memberikan keringanan/dispensasi kepada mereka yang tidak bisa mengikuti kuliah online, kenapa tidak?
Jika hal ini dirasa tidak adil karena tidak sama, maka, saya juga akan mengatakan bahwa adil tidak harus sama. Padi yang kita tanam, akan Kita panen sendiri.