Activita.co.id- Kita selalu memiliki gambaran terhadap sesuatu. Gambaran-gambaran tersebut kita peroleh melalui pengalaman atau pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap gambaran tersebut bisa berupa objek atau hal-hal yang berkaitan, maka dari itu, setiap gambaran seseorang atas sesuatu bisa saja berbeda. Semisal, saya menyebut nama sebuah perguruan tinggi. Mungkin saja orang pertama yang mendengarnya langsung membayangkan bangunan tinggi dan luas dengan nama perguruan tinggi terpajang di depannya, tapi orang kedua yang mendengarnya bisa saja membayangkan mahasiswa-mahasiswa yang berlalu-lalang sambil memegang buku. Ini berarti tiap orang memiliki interprestasi yang berbeda terhadap sesuatu, begitu pula dengan saya.
Saat pertama kali mendengar nama perguruan tinggi Islam di Madura, hal pertama yang saya bayangkan adalah mahasiswa yang mengikuti kajian-kajian terbuka dengan argumen dan teori yang mereka sampaikan, selain itu kata Islam yang terselip pada nama perguruan tinggi tersebut membuat saya juga membayangkan kampus dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswi dengan pakaian islami.
Namun, berbeda dari yang saya bayangkan. kenyataanya, tidak ada mahasiswa yang menyampaikan argumen dan teori dalam kajian terbuka, karena tidak ada kajian yang bisa menampung itu. Sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan sebuah lembaga membuka kajian terbuka yang bisa diikuti oleh seluruh mahasiswa, kecuali LPM Activita, beberapa minggu lalu. Setiap lembaga atau organisasi kemahasiswaan biasanya melaksanakan kajian hanya untuk peserta atau anggota dari organisasi tersebut; sebuah kajian tertutup. Kenapa menjadi begitu sulit bagi mahasiswa hanya untuk menjadi kelompok yang boleh mengikuti sebuah kajian?
Lalu, mengenai pakaian islami yang saya bayangkan sebelumnya, juga berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Saya heran melihat realitas yang ada, bagaimana bisa mahasiswa dengan celana jeans, baju ketat atau pakaian dengan bahan kaos bisa berlalu lalang di sebuah perguruan tinggi Islam. Apalagi mereka bisa mengikuti pembalajaran seperti biasa. Bagi saya nilai-nilai Islam pada sebuah perguruan tinggi seharusnya tidak hanya tercermin dari nama lembaga atau mata kuliah, namun juga dari pakaian mahasiswa-mahasiswi yang ada di dalamnya. Selain kode etik yang perlu diberlakukan dengan ketat, kesadaran pada diri masing-masing mahasiswa-mahasiswi juga harus menjadi hal yang mendasar untuk menjaga nilai-nilai Islam pada perguruan tinggi Islam itu sendiri.
Beberapa pihak mungkin melihat ini sebagai sesuatu yang berlebihan untuk dibahas, namun tanpa kesadaran bersama dan penanganan dari pihak kampus, dalam jangka panjang tentu hal ini akan menjadi kebiasaan dan dapat menjadi sebab degradasi nilai-nilai Islam itu sendiri. Pada akhirnya, kuliah hanya menjadi kegiatan nongkrong dengan gaya, ketika mahasiswa telah kehilangan esensinya sebagai mahasiswa. Kajian-kajian berhenti dilaksanakan, pikiran kritis mahasiswa mulai padam serta fashion bergeser menjadi hal pertama yang diperhatikan oleh mahasiswa.
Saya pikir, ada banyak mahasiswa yang mampu melewati masa kuliah selama 4 tahun. Namun hanya segelintir mahasiswa yang mampu melewati waktu tersebut dengan cara yang berkualitas. Karena itu, tidak semua (selama menjadi) mahasiswa dapat memiliki kesadaran akan esensi dari mahasiswa itu sendiri, tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan kualitas diri sebagai mahasiswa sering kali diabaikan, termasuk di dalamnya cara berpikir, pengetahuan, penambahan pengalaman, serta cara berpakaian seolah-seolah menjadi hal yang tidak berarti. Padahal melalui hal-hal itulah, kualitas seseorang mahasiswa dapat dilihat dan dipertimbangkan. (Ach. Rois Roikul Fikri/ Activita)