Activita.co.id- Budaya patriaki sampai kini sudah menjelma sebagai sebuah budaya, melakat yang diwariskan turun-temurun antar generasi. Masyarakat yang menganut sistem patriaki ini cenderung menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih dominan dibandingkan Perempuan dengan menetapkan hak-hak yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan.
Mengapa demikian?
Menilik dari sejarah peran perempuan, memang sejak dulu lebih dominan pada pekerjaan rumah seperti halnya tuntutan perempuan untuk bisa memasak, mencuci, menyapu dan lain sebagainya. Sering kita jumpai saat ini, ditambah lagi dengan maraknya narasi domestik dibalut dengan kajian fikih literalis yang dijadikan barometer keshalehan perempuan. Dikatakan perempuan tinggi keshalehannya, adalah perempuan yang dicitrakan tidak keluar rumah, patuh, diam, merawat keluarga serta terdapat sebuah hierarki yang mana laki-laki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga. Hal inilah yang menjadi budaya patriaki semakin kental dimana peran laki-laki dianggap lebih dominan, dibanding perempuan.
Tak cukup sampai di situ, stereotip orang terdahulu juga beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi, karena pada akhirnya ia hanya akan mengurus dapur dan anak di rumah. Padahal, seorang perempuan adalah tempat ternyaman dan madrasah pertama bagi anak-anak mereka nanti. Hal tersebut bertujuan, bahwa seorang perempuan juga harus memiliki kecerdasan ilmu dan pengetahuan yang tinggi agar dapat menjadi sumber media belajar pertama bagi sang anak.
Walaupun kesetaraan gender kian mulai diberlakukan. Namun, budaya patriaki menuai pro dan kontra dalam sudut pandang masyarakat. Dari sisi pro, budaya ini sudah dilahirkan turun temurun dari zaman dulu yang harus dilestarikan, sedangkan dari sisi kontra, di era digital saat ini. Banyak perempuan yang memiliki karir dan menolak budaya tersebut. Dampak dari munculnya budaya patriaki ini, mengakibatkan ketidaksetaraan dalam persepktif gender, hinga munculnya akibat ketdiaksetaraan gender seperti kekerasan pada permpuan, pelecahan, dan kurangnya kebebasab akses, deskriminasi dan lainnya.
Padahal, jika dilihat secara menyeluruh, terutama dalam sejarah perjuangan tokoh perempuan sejatinya banyak perempuan hebat yang menjadi bagian dari garda terdepan dalam memimpin. Sesuai dengan perjuangan R.A. Kartini, demi terciptanya keseteraan gender di Indonesia beliau berjuang agar perempuan bisa memiliki hak yang sama dengan laki-laki, tak hanya itu seorang toko perempuan Dewi Sartika dan Cut Nyak Dien yang memperjuangkan hak perempuan menjadi titik awal masa depan bagi para perempuan di Indonesia. Untuk melanjutkan perjuangan sebelumnya sebagai perempuan harus menunjukkan bahwa dirinya mampu mengimbangi peran laki-laki terutama di bidang pemdidikan dan karir. Karena perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun begitu untuk menyangkal bahwa perempuan haus akan haknya dan melihat komplek permasalahan gender baik dari persepktif yang yang terjadi, maka perlu juga diperlakukan sebuah langkah solutif untuk meminimalisisir deskriminasi dampak negative yang ditimbulkan oleh keduanya. Salah satunya perlu melalui sosialisasi keadilan gender yang menekankan kesadaran terhadap hak dan tanggung jawab, dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. (Felin)