Aku pasti akan memperbaiki semua itu kataku dalam hati. Entah kenapa aku merasa kaku untuk melakukannya.
2014 tepatnya di gubuk kecil, akhirnya tulisanku rampung tinggal kuketik dan ku kirim ke salah satu penerbit dikotaku melalui pak pos. Di atas ranjang, seperti biasa sengaja aku memanjakan punggungku di atas kasur yang sedikit empuk dengan ditemani lagu Aku milikmu oleh iwan fals, hingga aku benar-benar terlelap.
Dihari libur, matahari memasuki di sela-sela jendela yang sudah terbuka tanpa ku hadapkan wajahku ia sudah dulu mengenaiku. Kuberbegas menghampiri kamar mandi tanpa melirik jam karena ku berpikir subuhku sudah habis. Ah, teledornya diriku. Selesai semuanya, ku langsung mengambil tulisan yang sudah terprin-out.
“Cinta yang tidak tepat” itulah judul untuk minggu ini yang sudah beberapa kali mengalami pengeditan oleh sahabatku. Lika namanya, dia sudah lama aktif dalam menulis yang sudah menjadi penulis terbaik di ajang cerpen se-nasional. Beruntungnya dia, semoga jejakku sama dengannya. Tidak begitu lama hanya 30 menit, aku tiba di kantor pos dan menunggu lalu bergegas pulang.
“Dari mana saja kamu?” Tanya ayah setiba ku di rumah sepertinya tampak marah.
“Kantor pos” jawabku seadanya, tak peduli dengan ekspresi wajah ayah karena ku sudah sering mengalaminya.
“Kau ini! Sudah ku bilang jangan selalu menulis, buang-buang waktu saja!”
Jawabku hanya anggukan, malas menanggapi lebih lanjut percuma karena ayah tidak menyukai hobi ku. Dengan senang hati aku meninggalkan ayah lalu pergi ke kamarku. Ingin ku menagis tetapi mungkin tidak akan pernah merubah keputusan ayahku. Oh, begitulah hidup. Kadang apa yang di perjuangkan mereka yang mencintai tidak pernah mau mengerti apa yang di perjuangkan yang dicintainya. Lalu, siapa yang salah? Aku.
“Vena” teriak ibuku.
“Ya bu, ” jawabku dari kamar, sambil menuju ibuku.
Ternyata hanya di suruh mengantarkan pesenan kue. Kebetulan aku suntuk di kamar, ku antar saja kue-kue itu ke pemesan.
Mereka yang mencintaiku, ku tidak mengerti apa alasan mereka membenci yang ku sukai saat bertanya jawabannya hanya “sudah sudah ” kuberpikir panjang hanya membuaku tidak mengerti apa makna ucapan itu dan terpaksa aku harus menghiraukannya.
Menjelang sore sesaat aku selesai mengantarkan pesenan kue. Aku masih di tempat peristirahatan kakak ku, malas pulang ke rumah setelah mendengar kata ayah tadi.
“Kakak, apa vena salah kalau vena menulis?” Kutanya
Yah, pertanyataan itu akan tetap jadi pertanyaan. Ku langkahkan kaki untuk pulang karena tidak boleh berlama-lama disini dan tidak mungkin aku harus berdiam di tempat kakak ku sampai pagi.
Di bulan yang sama.
“Vena, kemarilah” pinta ayah.
“Ya , yah” jawabku sambil menghampiri ayah.
“Berhentilah menulis” kata ayah, itu lagi yang di bahas.
“Tetapi kenapa ayah?” Tanyaku
“Pokoknya kamu berhenti fokus saja sama sekolahmu” jawabannya
“Tetapi ayah, sekolah ku tidak pernah terganggu dengan hobiku”
“Sudah sudah, intinya sudah jangan menulis”
“Ayah jahat, ayah egois, aku benci ayah” ku ucapkan lalu pergi meninggalkan ayah.
Saat itulah, air mataku benar-benar jatuh tetapi itu semua tidak akan pernah menjadi alasanku untuk berhenti menulis karena tidak mungkin bangunan yang sudah ku bangun akan kurobohkan begitu saja dengan alasan mereka tidak menyukainya. Iya kan? Itupun ibu, tidak pernah datang saat aku benar-benar butuh pelukannya. Apa mungkin ibu juga setuju dengan ayah?
Satu minggu dari hari kemarin, ku baca berita koran yang ada di atas meja kerja ayahku dengan melebar mata ketika membaca cerpen yang berjudul persis milikku. Ah, ternyata memang benar ku tak menyangka. Ku langsung memotong bagian teks itu lalu ku tempel di kamar. Ku yakin ayah juga tidak akan baca. Kan ini bukan berita, Hufz.
Entahlah, harus bahagia atau tidak tetapi bersyukur saja lah. Kuceritakan semua pada lika sahabatku.
Fany. Dia teman baikku walau dia teman cowok, dia selalu siap mendengarkan ku.
“Twing-twing” bunyi ponsel ku. Kulihat layar ponselku ternyata fany memanggil
“Yaa , fany” tanyaku
“Kamu baca koran gak?” Tanya dia
“Belum fan, kenapa?”
“Ada lomba novel loh ven, hadiahnya lumayan”
“Ah, yang benar saja kamu” tanyaku dengan sedikit ragu
“Iya ven, aku serius loh. Di halaman 10 pojok kiri bawah, coba sana dilihat”
Ku bergegas menuju ruang tamu. Ku lihat saja petunjuk fany, ternyata dia benar.
“Ya. Sudah ku lihat, terimakasih” kataku
“Ah, tak perlu berterima kasih. Aku ingin kamu ikut” ujarnya
“Ya, aku pikir-pikir dulu”
“Ya sudah, jangan lama-lama berfikirnya” katanya dengan tawanya
“Oke” jawabku. Sambil ku tutup telvonya.
Sebenarnya novelku tidak begitu banyak malah yang tidak rampung begitu banyak, bagaimana aku memperbaikinya, semua tulisan tangan. Mungkin saja aku mulai membuat yang baru tentang rinduku pada ayah, ide bagus Itupun temanya bebas. Pikirku.
Menulis tidak butuh begitu lama, apalagi semua tentang hidup yang pernah dialami. Hanya satu minggu tulisanku sudah tuntas dan pengirimannya hanya lewat email tanpa coretan pena diatas kertas.
Bebarapa minggu novelku tak kunjung ada kabar yang pada akhirnya aku memilih untuk tetap menulis tanpa menunggu keputusan novelku yang sudah diikut sertakan.
Aku mulai merasa akhir-akhir ini tulisanku berantakan tak kunjung selesai. Bukan hanya itu, organ tubuhku mulai melemah, sering mengantuk. Hingga Ibu tak sengaja melihat ku tertidur di lantai, aku bukan sengaja tertidur dilantai akan tetapi aku tak sanggup berdiri.
“Ven” ibu memegang dahiku
“Ma, vena lemes” kataku dengan suara tak begitu kuat
“Lemas kenapa nak?” Tanya ibu dengan memangku tubuhku
“Ayah, yubna, alvin” teriak ibu memanggil ayah dan kakak adikku
Hanya itu yang kuingat, tiba-tiba saja aku sudah terbaring dengan selang infus. Semua kerabat ada, begitupun dengan fany sahabatku. Aku bingung, entah kenapa semua ada disini. Kutanyakan pada fany, ia mengatakan sudah satu bulan aku tak sadarkan diri. Oh, apa yang telah terjadi pada tubuhku sehingga aku terlelap tidur dan meninggalkan aktifitasku. Ini bukanlah hal yang aku inginkan, terbaring lemah , tidak melakukan apa-apa hanya tidur dan bangun dengan keadaan yang sama. Tiap hari keadaanku semakin lemah, tangan dan jariku tak mampu ku gerakkan seperti biasanya, ini hal aneh bagiku. Saat aku menanyakan ada apa dengan tubuhku mereka hanya menjawab “istirahat saja” yang tentunya menjadi pertanyaaan terbesarku saat ini akan tetapi jawabannya tidak pernah aku inginkan.
“Ven, kalau kamu tidak bisa menulis. Apa kamu lakukan?” Tanya fany
“Mungkin saja, aku hanya bisa diam” jawabku. Aku sudah menyangka jawaban dari pertanyaan ku itu, tentang ini semua.
“Jangan pernah diam, tetaplah menulis walau bukan dengan tulisan tangan lagi” ujar fany
“Bagaimana bisa, tanganku bahkan kakiku tak bisa ku gunakan?” Tanyaku dengan isya’ tangisku
“Ven, kau tau? Masih banyak panca indramu yang mampu kamu ceritakan melewati orang yang kamu percayai untuk melanjutkan tulisanmu” tegas fany
Aku hanya diam mendengar ucapan fany dan aku berfikir itu sangatlah tidak mungkin bagiku.
Satu minggu dari kepulanganku, fany mengunjungi ku di rumah dengan membawa adik kecilnya. Sejenak ku ingat, memanglah fany yang selalu hadir disaat aku bahagia atau sedih sekalipun aku tidak sama dengannya. Saat asyik berbincang, bercanda tiba-tiba saja ayah menghampiri ku yang duduk di ruang tamu.
“Ven, tadi ayah dapat informasi kalau kamu pernah mengirim file novel di ajang lomba kan?” Tanya ayah dengan wajah seriusnya, aku hanya mengangguk.
“Kamu juaranya” lanjut ayah
“Yang benar om?” tanya fany dengan suara keras
“Ah, yang benar saja yah?” Tanyaku
“Beneran, malah lebih mengejutkan kalau novel mu akan di terbitkan oleh salah satu penerbit” kata ayah
Aku tak menyangka, novel ku akan di terbitkan dan jauh lebih senangnya lagi ayah sangat bahagia dengan prosesku walau ayah dulu tak pernah menyukai hal itu.
“Tuhan, terima kasih atas segala rencana Mu yang begitu jauh dari ingin dan pikirku. Engkau tidak pernah tidur, Engkau tidak pernah salah, dan Engkau Maha Tahu” gumanku dalam hati. Inilah kebahagian yang tidak bisa aku bayar dengan uang sekalipun kedua tangan dan kakiku lumpuh tetapi Tuhan merencanakan yang indah buat diriku untuk terus semangat dalam menjalani hidup. Sekarang, aku tidak bisa menulis seperti hari – hari kemarin tetapi fany sahabatku ia mau menemani disetiap tulisanku. Aku sangat bersyukur dengan bantuan fany, aku tetap menulis.
“Tulisanku adalah motivasi ku agar jauh lebih baik lagi dan melalui tulisan aku ingin mengenal Tuhanku dan salah satu caraku berhijrah mencapai RidhaNya” batinku.
Hal ini tidak pernah bisa aku lupakan sampai kapanpun, aku jauh lebih percaya atas kegigihan akan menggapai sebuah keinginan sekalipun tidak begitu apa yang direncanakan tidak akan jauh beda dengan apa yang diinginkan. Percayalah itu. Mentari benar benar kembali hari ini, bintang kembali tersenyum hari ini dan bulan kembali bersinar menerangi gelap yang malam. Aku Menyayangi Kalian.
(Lensa)