Haruskah (Kita) Merantau?
Perbesar
Oleh: Abd Gafur*
Merantau merupakan istilah yang tak ditemukan sejarah siapa yang melakukan pertama kalinya. Namun, bagi mereka yang sedang atau pernah merantau pasti merasakan pahit manis hidup di tanah rantaunya. Kalau melihat ke belakang, ada banyak alasan bagi mereka (perantau) kenapa mereka memilih untuk merantau ke negeri/ daerah orang. Mulai dari alasan ekonomi, pendidikan, atau bahkan karena daerahnya di rasa tidak sesuai dengan keinginannya.
Berbicara merantau, suku Madura termasuk salah satu suku yang dikenal dengan suku perantau. Hal tersebut berdasarkan banyak warga Madura yang menyebar di saentaro nusantara bahkan saentaro dunia ini. Sehingga, tidak dapat kita nafikan adanya perkampungan Madura di berbagai daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Misalnya, adanya perkampungan Madura di berbagai daerah. Kalau ditarik ke ranah yang lebih sempit, katakanlah kabupaten yang warganya banyak merantau. Kabupaten Pamekasan termasuk di dalamnya. Katakannlah yang ke luar negeri. Ada yang ke negera Arab, Malaysia, China, Hongkong, Thailan, Taiwan dan negera lainnya. Berbeda lagi dengan yang merantau ke daerah dalam negeri, seperti ke Sumatra, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT dan bahkan ke Papua atau derah lainnya.
Mengingat beragamnya alasan dari mereka (perantau) merantau, kita tidak semestinya menyalahkan. Karena merantau atau tidak, adalah hak individu. Namun demekian, perlu kiranya kita meluruskan dari berbagai alasan yang sering penulis temui. Misalnya, merantau karena desakan ekonomi. Kemudian memilih untuk bekerja di daerah orang lain dan bekerja sesuai kemampuannya. Banyak saya temukan, bahkan di daerah kelahiran saya (Kec.Waru Kab. Pamekasan) yang niat awalnya ingin meningkatkan perekonomiannya dan akan kembali ke tanah asalnya ketika sudah dikira cukup tetapi niat itu seakan hilang ditelan bumi. Ketika sudah merasakan nikmat dan banyakknya pendapatan bekerja, mereka justru enggan untuk kemabli ke daerah asalnya. Dari sekian banyaknya alasan perantau, yang kemudian enggan kembali ke daerah asalnya, secara umum, alasannya hampir bisa dipastikan karena mereka sudah merasa nyaman di daerah rantaunya. Pertanyaannya adalah, haruskah atau perlukah kita merantau? Tentu jawaban dari pertanyaan ini menjadi PR besar bagi kita yang belum merasakan merantau. Tetapi bisa menjadi evaluasi bagi para peratau yang sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya.
Dalam membicarakan warga Pamekasan yang merantau, khususnya yang merantau dengan konteks karena pendidikan sangatlah banyak. Salah satu bukti, teman saya yang terhitung puluhan orang memilih untuk kuliah di luar Pamekasan. Misal, kuliah di Sumenep, Sampang, Bangkalan, bahkan ke luar Madura. Dari sekian puluhan orang, alasannnya hampir sama, yakni ingin pendidikan yang berkualitas. Mendengar alasan itu, sejenak saya bertanya dalam benak, memangnya pendidikan di Pamekasan tidak berkualitas? Kan, Pamekasan dikenal kota pendidikan? Apalagi perguran tinggi di Pamekasan banyak. pertanyaan ini tidak mungkin dijawab dalam hati lalu memuaskan. Tidak. karena ini sangat erat kaitanya dengan kualitas dan kepantasan Pamekasan yang sejak 2010 didengungkan sebagai Kota Pendidikan.
Di atas masih pelajar yang masih mengeyam pendidikan. Berbeda lagi dengan mereka yang sudah selesai studinya dan sukses justru tidak kembali lagi ke kota Gerbang Salam ini. Katakanlah, Mahfud MD, Mien Rifai, Wardiman, dan masih banyak tokoh besar lainnya. Teringat pada beberapa bulan lalu, Prof Wardiman waktu mengisi acara seminar di salah satu komunitas di Pamekasan. Dia bilang, dia bukan tidak mau kembali ke Pamekasan. Tetapi, karena di Pamekasan tidak ada tempat untuknya. Jadi, ia memilih untuk tetap di Bandung.
Mungkin, jika fakta ini mengangkat Prof Wardiman mantan Mentri Pendidikan ke 19 agak terlalu jauh. Sekadar contoh yang lebih dekat lagi, ada tetangga saya yang kuliah di Jogja, Surabaya, Malang, dan daerah lainya yang enggan pulang ke ke tanah asalnya. Ketika ditanya pada saat bertemu di kampung saat lebaran atau ada acara keluarga, kapan kembali ke tanah kelahirannya, dia berkata ‘Saya bukan tidak mau balik ke Pamekasan, tapi di sini tidak ada wadah bagi saya’. Berbeda lagi yang bekerja atau menjadi TKI di luar negeri. Banyak di desa saya, desa tetangga bahkan kenalan saya di luar kecamatan-tapi juga termasuk Pemekasan- yang bekerja di luar dengan kurun waktu cukup lama justru enggan untuk kembali. Alasan mereka sederhana. Karena di luar sana (luar Pamekasan) mencari uang gampang. Tidak seperti di Pamekasan yang terbilang kurang lancar.
Yang perlu dicatat hari ini bukan persoalan gampang atau tidaknya mendapatkan uang di negeri rantau. Tetapi sebuah pertanyaan besar mengenai siapa yang perlu disalahkan dalam masalah tidak boleh kita anggap sepele ini? Misal, pendidikan di Pamekasan. Pamekasan, sejak 2010 sudah mendapat predikat sebagai Kota Pendidikan. Mendapatkan predikat sebagai Kota Pendidikan tidak mudah. Namun predikat tersebut pasti berangkat dari kerja kerasan hingga terciptanya kualitas yang baik. Pertanyaannya sekrang adalah, jika memang berkualitas, mengapa banyak kalangan pelajar justru memilih untuk menempuh studi di luar Pamekasan? Hal ini merupakan hal yang terkesan lucu. Tetapi ini bukan lelucon yang terus kan jadi tontonan.
Lagi, soal bekerja di luar Pamekasan. Siapa yang perlu disalahkan? Pemerintah yang tidak menyediakan pekerjaan, pemerintah yang hanya mempekerjakan orang terdekatnya, atau masyarakat yang tidak memanfaatkan lahan yang ada? Deretan pertanyaan ini tidak mungkin dijawab dalam tulisan yang hanya sekadar editorial ini. Tetapi lewat tulisan ini, saya mengajak pembaca, pemerintah, dan masyarakat untuk sama-sama membaca sekaligus melakukan intropeksi diri demi terciptanya kesadaran diri. Wallahua’lam.
*Pimpinan Umum UKK LPM Activita 2016-2017
Artikel ini telah dibaca 4 kali
Haruskah (Kita) Merantau?
Perbesar
Oleh: Abd Gafur*
Merantau merupakan istilah yang tak ditemukan sejarah siapa yang melakukan pertama kalinya. Namun, bagi mereka yang sedang atau pernah merantau pasti merasakan pahit manis hidup di tanah rantaunya. Kalau melihat ke belakang, ada banyak alasan bagi mereka (perantau) kenapa mereka memilih untuk merantau ke negeri/ daerah orang. Mulai dari alasan ekonomi, pendidikan, atau bahkan karena daerahnya di rasa tidak sesuai dengan keinginannya.
Berbicara merantau, suku Madura termasuk salah satu suku yang dikenal dengan suku perantau. Hal tersebut berdasarkan banyak warga Madura yang menyebar di saentaro nusantara bahkan saentaro dunia ini. Sehingga, tidak dapat kita nafikan adanya perkampungan Madura di berbagai daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Misalnya, adanya perkampungan Madura di berbagai daerah. Kalau ditarik ke ranah yang lebih sempit, katakanlah kabupaten yang warganya banyak merantau. Kabupaten Pamekasan termasuk di dalamnya. Katakannlah yang ke luar negeri. Ada yang ke negera Arab, Malaysia, China, Hongkong, Thailan, Taiwan dan negera lainnya. Berbeda lagi dengan yang merantau ke daerah dalam negeri, seperti ke Sumatra, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT dan bahkan ke Papua atau derah lainnya.
Mengingat beragamnya alasan dari mereka (perantau) merantau, kita tidak semestinya menyalahkan. Karena merantau atau tidak, adalah hak individu. Namun demekian, perlu kiranya kita meluruskan dari berbagai alasan yang sering penulis temui. Misalnya, merantau karena desakan ekonomi. Kemudian memilih untuk bekerja di daerah orang lain dan bekerja sesuai kemampuannya. Banyak saya temukan, bahkan di daerah kelahiran saya (Kec.Waru Kab. Pamekasan) yang niat awalnya ingin meningkatkan perekonomiannya dan akan kembali ke tanah asalnya ketika sudah dikira cukup tetapi niat itu seakan hilang ditelan bumi. Ketika sudah merasakan nikmat dan banyakknya pendapatan bekerja, mereka justru enggan untuk kemabli ke daerah asalnya. Dari sekian banyaknya alasan perantau, yang kemudian enggan kembali ke daerah asalnya, secara umum, alasannya hampir bisa dipastikan karena mereka sudah merasa nyaman di daerah rantaunya. Pertanyaannya adalah, haruskah atau perlukah kita merantau? Tentu jawaban dari pertanyaan ini menjadi PR besar bagi kita yang belum merasakan merantau. Tetapi bisa menjadi evaluasi bagi para peratau yang sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya.
Dalam membicarakan warga Pamekasan yang merantau, khususnya yang merantau dengan konteks karena pendidikan sangatlah banyak. Salah satu bukti, teman saya yang terhitung puluhan orang memilih untuk kuliah di luar Pamekasan. Misal, kuliah di Sumenep, Sampang, Bangkalan, bahkan ke luar Madura. Dari sekian puluhan orang, alasannnya hampir sama, yakni ingin pendidikan yang berkualitas. Mendengar alasan itu, sejenak saya bertanya dalam benak, memangnya pendidikan di Pamekasan tidak berkualitas? Kan, Pamekasan dikenal kota pendidikan? Apalagi perguran tinggi di Pamekasan banyak. pertanyaan ini tidak mungkin dijawab dalam hati lalu memuaskan. Tidak. karena ini sangat erat kaitanya dengan kualitas dan kepantasan Pamekasan yang sejak 2010 didengungkan sebagai Kota Pendidikan.
Di atas masih pelajar yang masih mengeyam pendidikan. Berbeda lagi dengan mereka yang sudah selesai studinya dan sukses justru tidak kembali lagi ke kota Gerbang Salam ini. Katakanlah, Mahfud MD, Mien Rifai, Wardiman, dan masih banyak tokoh besar lainnya. Teringat pada beberapa bulan lalu, Prof Wardiman waktu mengisi acara seminar di salah satu komunitas di Pamekasan. Dia bilang, dia bukan tidak mau kembali ke Pamekasan. Tetapi, karena di Pamekasan tidak ada tempat untuknya. Jadi, ia memilih untuk tetap di Bandung.
Mungkin, jika fakta ini mengangkat Prof Wardiman mantan Mentri Pendidikan ke 19 agak terlalu jauh. Sekadar contoh yang lebih dekat lagi, ada tetangga saya yang kuliah di Jogja, Surabaya, Malang, dan daerah lainya yang enggan pulang ke ke tanah asalnya. Ketika ditanya pada saat bertemu di kampung saat lebaran atau ada acara keluarga, kapan kembali ke tanah kelahirannya, dia berkata ‘Saya bukan tidak mau balik ke Pamekasan, tapi di sini tidak ada wadah bagi saya’. Berbeda lagi yang bekerja atau menjadi TKI di luar negeri. Banyak di desa saya, desa tetangga bahkan kenalan saya di luar kecamatan-tapi juga termasuk Pemekasan- yang bekerja di luar dengan kurun waktu cukup lama justru enggan untuk kembali. Alasan mereka sederhana. Karena di luar sana (luar Pamekasan) mencari uang gampang. Tidak seperti di Pamekasan yang terbilang kurang lancar.
Yang perlu dicatat hari ini bukan persoalan gampang atau tidaknya mendapatkan uang di negeri rantau. Tetapi sebuah pertanyaan besar mengenai siapa yang perlu disalahkan dalam masalah tidak boleh kita anggap sepele ini? Misal, pendidikan di Pamekasan. Pamekasan, sejak 2010 sudah mendapat predikat sebagai Kota Pendidikan. Mendapatkan predikat sebagai Kota Pendidikan tidak mudah. Namun predikat tersebut pasti berangkat dari kerja kerasan hingga terciptanya kualitas yang baik. Pertanyaannya sekrang adalah, jika memang berkualitas, mengapa banyak kalangan pelajar justru memilih untuk menempuh studi di luar Pamekasan? Hal ini merupakan hal yang terkesan lucu. Tetapi ini bukan lelucon yang terus kan jadi tontonan.
Lagi, soal bekerja di luar Pamekasan. Siapa yang perlu disalahkan? Pemerintah yang tidak menyediakan pekerjaan, pemerintah yang hanya mempekerjakan orang terdekatnya, atau masyarakat yang tidak memanfaatkan lahan yang ada? Deretan pertanyaan ini tidak mungkin dijawab dalam tulisan yang hanya sekadar editorial ini. Tetapi lewat tulisan ini, saya mengajak pembaca, pemerintah, dan masyarakat untuk sama-sama membaca sekaligus melakukan intropeksi diri demi terciptanya kesadaran diri. Wallahua’lam.
*Pimpinan Umum UKK LPM Activita 2016-2017
Artikel ini telah dibaca 0 kali
Baca Lainnya
Trending di Kabar Kampus