Activita.co.id-Oleh: Ach. Fasihul lisan
Menentukan pasangan hidup merupakan salah satu keputusan besar dalam hidup seseorang yang berlaku untuk kehidupannya kedepan. Dalam memilih pasangan, sebagian orang harus mengikuti keinginan orang tua, sesuai harapan dan ekspektasi mereka, dan ada juga yang berdasarkan perasaan pribadi dan keinginan hati mereka masing-masing. Dalam suatu budaya yang masih kental dengan nilai-nilai keluarga baik perspektif agama maupun tradisi yang sudah mengakar dari sebelumnya, sering muncul pertanyaan besar, “Siapakah yang lebih berhak menentukan jodoh orang tua atau anak?”
Di satu sisi, orang tua merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan anaknya, dan di sisi lain, anak mempunyai hak dan kebebasan dalam menentukan kehidupannya sendiri.
Orang tua berupaya memilihkan pasangan bagi anaknya selain karena rasa tanggung jawab, juga karena ingin memilihkan pasangan yang baik bagi seorang anak baik dari segi finansial, material, atau agama, sebagai bentuk kehati-hatian mereka agar anak memiliki masa depan yang cerah dan indah, terkhususnya bagi anak perempuan yang berujung pada pemaksaan. Namun sang anak terutama generasi muda sekarang ingin mengambil kendali atas dirinya termasuk dalam memilih pasangan, mereka ingin kebebasan dalam memilih pujaan hatinya atau pasangan yang akan mereka cintai, tanpa adanya tekanan dan paksaan, apalagi mereka tidak cinta dan tidak memiliki keinginan untuk berumah tangga dengan orang yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya.
Hasilnya, tidak jarang rumah tangga yang dibangun karena keterpaksaan menjadi rumah tangga yang tidak harmonis bahkan mengakibatkan banyaknya perceraian.
Lalu bagaimana mencari jalan tengahnya, dan bagaimana cara menyeimbangkan dua hal tersebut?
Merujuk pada pendapat Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam salah satu kitabnya
لاَ يَجُوْزُ إِكْرَاهُ الْبَالِغَةِ عَلىَ النِّكَاحِ: بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا. وَكَمْ لِلْإِكْرَاهِ مِنْ بَلاَيَا وَنَكبَاتٍ وَعَوَاقِبَ وَخيمَةٍ، إِنَّ الْاِسْلاَمَ يَأْبَاهُ كُلَّ الْإِبَاءِ
Yang artinya “Tidak boleh memaksa wanita yang sudah baligh untuk menikah, baik yang masih gadis maupun yang sudah janda. Betapa banyak pemaksaan hanya menimbulkan petaka, bencana, rintangan dan keburukan. Sungguh Islam menolaknya dengan benar-benar menolak.”
Di situ Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menjelaskan bahwa tidak boleh memaksakan suatu pernikahan apalagi dengan orang yang tidak diinginkannya, karena dengan pemaksaan-pemaksaan tersebut hanya akan menimbulkan musibah dan masalah besar dalam keluarga tersebut yang berujung perceraian, dan Islam juga tidak menginginkan dan tidak membenarkan atas hal tersebut.
Maka dari pendapat Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dari situ kita mengetahui bahwa orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam menentukan jodoh anaknya, lalu di mana tanggung jawab orang tua terhadap kebaikan anaknya?
Maka kita telaah juga pendapat salah satu mufti Mesir kontemporer yaitu Syekh Ali yang pernah ditanya tentang batasan orang tua dalam menentukan pasangan anaknya.
سَاوَى الْاِسْلَامُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي حَقِّ اخْتِيَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِلْأَخَرِ، وَلَمْ يَجْعَلْ لِلْوَالِدَيْنِ سُلْطَةُ الْاِجْبَارِ عَلَيْهِمَا. فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ، وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَجْبِرَا أَوْلَادَهُمَا ذُكُوْرًا أَوْ اِنَاثًا
Yang artinya “Islam menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam menentukan hak pilih keduanya pada yang lain atau pasangannya. Dan, Islam tidak memberikan otoritas pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya laki-laki maupun perempuan. Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya menikah dengan orang tertentu, baik laki-laki maupun perempuan.”
Dari pendapat Syekh Ali tersebut dapat kita simpulkan bahwa tanggung jawab orang tua dalam menikahkan atau memilihkan pasangan anaknya, hanya sebatas memberikan nasehat, mengarahkan dan memberikan pandangan terhadap anaknya, seperti apa pasangan yang baik bagi anak dan seperti apa pasangan yang memang mencintai anak mereka.
Jadi intinya, komunikasi dan kompromi orang tua dengan anaknya yang menjadi kunci besar dalam kebaikan untuk menentukan jodoh atau pasangan hidup seorang anak baik laki-laki maupun yang perempuan. Orang tua selalu memberikan nasehat tanpa harus memaksakan kehendak dan keinginannya, dan anak perlu juga mendengarkan dan menghargai nasehat-nasehat dan pandangan orang tua untuk menjadi pertimbangan bagi mereka. Maka dengan begitu, kedua belah pihak dapat merasakan kebahagiaan dari keputusan yang mereka ambil.