Oleh: Imroatun Jamilah* |
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna. Kesempunaannya terbukti dengan lengkapnya unsur dasar penciptaan yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Pada kedua unsur ini mengandung cabang-cabang unsur berikutnya. Unsur jasmani manusia adalah wujud nyata yang tampak oleh panca indera, sedangkan unsur rohani sebaliknya. Ia tidak menempati ruang dan waktu serta tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Gabungan kedua unsur inilah yang menjadikan manusia patut dikatakan sebagai makhluk yang sempurna.
Hal ini terbukti bila dibandingkan dengan mahluk lainnya, misalnya hewan. Hewan mempunyai unsur jasmani tetapi tidak berakal. Begitu juga malaikat, meskipun punya akal, tapi tidak punya nafsu dan keberadaannya tidak tampak oleh panca indera. Aristoteles mengungkapkan bahwa manusia disebut sebagai Homo est animal rationale, manusia adalah hewan yang berakal budi. Timbulnya keinsyafan seperti ini adalah bersumber dari ilmu. Ia menjadi sumber pertama dan paling utama bagi kehidupan manusia.
Berbicara tentang ilmu, sebenarnya sudah tidak jarang kita bahas. Baik dari lingkup pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan budaya, bahkan dari waktu ke waktu, aktivitas kehidupan manusia tak lepas dari ilmu. Ilmu ini tidak lain adalah nikmat dan pemberian Tuhan yang harus kita syukuri. Karena dengan ilmu, manusia dapat menentukan arah dan tujuan hidup, menentukan yang baik dan yang buruk, hingga dapat mencari hakikat hidup yang sejati.
Dalam Al-Qur’an, surat al-Mujadalah, [58]:11 Allah swt. berfirman yang artinya: “…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” Ini menandakan betapa pentingnya ilmu sehingga Allah memberikan derajat yang tinggi bagi mereka yang mempelajarinya. Bahkan akan tampak jelas perbedaan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu. Tidak hanya di dalam al-Qur’an, di dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu, karena suka (senang) pada apa yang dituntut.” Jelas sekali dalam hadis ini bahwa kedudukan ilmu sangat tinggi.
Sebagai mahluk yang hidup berevolusi, manusia menjadi pemeran penting dalam mengembangkan dirinya melalui ilmu. Sehingga ilmu berkembang dari masa ke masa. Bahkan ilmu-ilmu baru telah banyak diperoleh. Terutama di masa modern ini, berbagai ilmu-ilmu baru muncul dengan cepat dan praktis. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga ikut serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai cabang ilmu ini sudah masuk ke kurikulum pendidikan, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan sebagainya. Sebenarnya cabang ilmu ini sudah ada sejak dahulu kala, ketika para ilmuwan menemukannya. Hanya saja, yang sekarang adalah perkembangan dari ilmu tersebut yang terus berlanjut sehingga cakupannya semakin luas.
Namun ada sebagian masyarakat di Indonesia yang kurang begitu menerima terkait cabang-cabang ilmu tersebut. Biasanya sebagian kelompok masyarakat ini adalah mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Mereka berpendapat bahwa tidak ada keseimbangan dalam penentuan kurikulum pendidikan. Di sekolah-sekolah misalnya, paling banyak yang dipelajari adalah ilmu-ilmu umum. Sedangkan ilmu agama kurang begitu dipentingkan. Pendapat semacam ini menimbulkan wacana baru terkait dengan pembagian ilmu, yaitu “Ilmu Agama” dan “Ilmu Umum”. Padahal sebenarnya pembagian ilmu tidak demikian adanya.
Menurut Bapak Umar Bukhory, seorang dosen kampus IAIN Madura, pembagian ilmu itu bukan Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Beliau berpendapat:
“Saya kurang setuju dengan mindset sebagian orang yang berpandangan bahwa ilmu itu ada dua, yakni ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu umum yang mereka maksud seperti matematika, biologi, fisika, kimia, dan semacamnya, yang mana sering dibahas di sekolah-sekolah formal. Pendapat seperti itu kurag benar. Karena di dalam Islam sendiri, kita juga belajar tentang langit, bumi, perhitungan (matematika) dan semuanya. Bahkan ilmuwan Islam adalah ahli pengetahuan, ahli kedokteran, ahli filsafat, ahli astronomi, dan sebagainya. Jadi tidak ada pembagian ilmu umum dan ilmu agama. Menurut saya, kedua-duanya adalah sama-sama ilmu yang berasal dari Allah untuk wajib kita pelajari.”
Selain itu, pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Bapak Maulud Hidayat, seorang guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 2 Sampang. Beliau berpendapat:
“Semua ilmu itu sama. Baik ilmu umum dan ilmu agama. Jadi, kurang benar bila ada yang berpendirian bahwa menutut ilmu agama itu wajib, dan menuntut ilmu umum itu sunnah. Sehingga dengan mudahnya mereka mengklaim bahwa bila kita mengedepankan ilmu umum yang hukumnya sunnah, maka kita akan berdosa karena telah mengabaikan ilmu agama yang wajib. Padahal tidak ada doktrin seperti itu di dalam Islam. Jadi, bila kita hendak memperdalam ilmu, kita harus menyeimbangkan keduanya. Karena kedua bidang ilmu tersebut sama-sama diperlukan untuk kehidupan dunia dan akhirat kita.”
Bia kita telisik lebih jauh, yang dipermasalahkan di sini adalah tentang pembagian ilmu dan hukum menuntut ilmu. Menurut sebagian masyarakat, ilmu-ilmu seperti akidah, syari’ah, akhlak dan semacamnya disebut ilmu agama. Sedangkan ilmu matematika, biologi, fisika, dan sebagainya disebut ilmu umum. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu umum itu tidak penting dipelajari.
Argumen seperti ini biasanya banyak dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai pemikiran tradisionalis. Dan persepsi ini sebenarnya adalah hal yang wajar saja. Karena masyarakat yang tradisionalis ini kemungkinan besar hidup dalam ranah perdesaan yang tentunya begitu terisolasi dengan pendidikan. Sehingga apabila mereka menerima hal-hal baru yang masuk ke lingkungannya, mereka tidak mudah dengan serta merta ikut dalam hal-hal baru tersebut.
Sebagai manusia yang berpendidikan, baik siswa ataupun mahasiswa, kita tentunya telah mengetahui konsep ilmu dan jenisnya sejak di bangku Sekolah Dasar atau Madarasah Diniyah. Di Madrasah misalnya, kita disuguhkan dengan sebuah kitab bejudul Ta’limul Muta’allim. Sehingga di dalam kitab itu, kita belajar tentang ilmu. Pun di lingkungan pesantren bahkan dikaji seluas-luasnya.
Di dalam buku Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, karya Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz, diterangkan secara rinci tentang ilmu dan pembagiannya, keutamaan ilmu dan ahlinya, hukum menuntut ilmu, adab menuntut ilmu, dan semuanya dipaparkan dengan detail dan jelas.
Berbagai pendapat tokoh-tokoh di atas mendorong kita untuk menyadari pentingnya menuntut ilmu, tidak membeda-bedakan ilmu, dan tidak membedakan mana yang terpenting dan mana yang kurang penting. Sehingga kita tidak lagi mengikuti sebagian orang yang berpandangan bahwa ada dinding pemisah antara ilmu agama dan ilmu umum. Pemikiran yang sempit ini harus kita hilangkan dan perlu untuk mengkaji lebih luas tentang ilmu serta pembagiannya.
Sampang, 21 Juni 2019
Daftar Pustaka
Abdul Aziz, Abdul Qadir. 2006. Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu. Solo: Pustaka Al-‘Alaq.
Bukhory, Umar. 2019. Pengantar Ilmu Logika. Pamekasan: IAIN Madura Press.
Qudsy, Musa Turoichan al. 2015. Menggapai Tingkatan Shufi dan Waliyullah. Kudus:
Ampel Mulia.
*penulis merupakan mahasiswi Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir semester 3 dan anggota magang UKK LPM Activita