Oleh: Hosniyah
Assalamualaikum. hai nama ku Faina, setelah lulus SMA aku memutuskan untuk langsung kuliah. Mengingat banyak sekali yang menyemangatiku untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi. Alih-alih agar bisa menambah pengalaman ya.. Itulah dorongan yang selalu aku terima disaat ingin hati enggan mengikuti semua saran itu. Namun semuanya mau tidak mau setelah aku melihat semangat teman-teman ku aku pun tertarik untuk kuliah. Hingga dari situlah aku memutuskan untuk kuliah dan bersama-sama mencari pengalaman bersama mereka. Meskipun aku tidak tau apakah selamanya bersama mereka?
Katanya kuliah tidak sama dengan sekolah.
Jum’at 15 Agustus 2018 adalah awal aku merasa dewasa. Dimana, kenalakan remaja ku sedikit menghilang mengingat umur sudah tidak lagi dibuat untuk sekedar foya-foya. Pada waktu itu aku pertama kali menginjakkan kaki ku di salah satu kampus di Madura yaitu IAIN MADURA. bisa lulus disalah satu kampus Negeri di Pamekasan merupakan suatu kebanggaan untuk ku. Namun, pada saat itulah aku mengenal dunia bebas tanpa pengawasan. Sedari itulah aku mulai mengubah cara pandang ku mengenai tujuan hidup ku serta kesuksesan seperti apa yang harus aku capai. Tanggal 15 agustus 2018 aku berpakaian hitam putih menandakan mahasiswa baru yang manut dalam ospek. Harus manut dalam aturan ospek yang tidak boleh terlambat, dan harus bisa menahan amarah karena banyaknya teriakan dari keamanan ospek. Pada awal itulah aku merasa harus mampu memperbaiki diri menjadi lebih baik. Namun dengan ketidak sengajaan aku terkagum dengan tingkah satu lelaki yang begitu akrabnya mengahampiri ku selayaknya sudah berteman lama. Padahal aku dengannya sama sekali belum mengenal satu sama lain. Iya dialah seseorang yang bertingkah aneh tapi lucu membuat setiap orang yang melihatnya tertawa. Kebetulan ia tidak satu fakultas dengan ku namun semenjak tanggal 15 itu aku dengannya mulai akrab dan saling mengenal.
“eh kenapa diem, bicara aja! Kenapa sih? Temen sekelompok ku via, menegur ku karena lamunan ku yang terlalu lama.
“eh tidak, tidak apa-apa! ” sahut ku
“kamu nulis tidak, apa yang disampaikan pemateri tadi? ” celoteh via adaku
“aku, aku, aku tidak menulis” dengan gugup ku jawab
“haduh iya sudah, aku kira kamu nulis” sembari via memfokuskan pandangannya kepada teman yang lain
Hari itu aku merasakan masih bisa aku kendalikan rasa kagum ku, karena lelucon anehnya yang selalu ia tampakkan kepada teman-teman sekelompok ospeknya. Malamnya hp ku berdering karena WA grup yang ramai. Namun deringan yang terakhir aku lihat adalah nomer yang tidak aku kenal. Dan ternyata tidak aku sangka dia chating aku dengan kalimat “Assalamualaikum”. Dari awal chatingan itulah aku mulai akrab dengannya.
Tanggal 16 agustus 2018 aku dnegannya semakin akrab. Meskipun tidak banyak orang tau bahwa aku dengannya sudah saling mengenal. Ospek berjalan dengan semestinya, kelelahanpun sangat terlihat di wajah teman-teman. Tidak dapat dipungkiri satu hari penuh aku dengan kelompok ku merasa sangat kelelahan. Tapi pada saat di forum pemateri, aku tidak melihatnya ntah kemana, akan tetapi pada waktu pagi akupun masih bertemu dengannya.
Meski begitu aku tetap memfokuskan ospek ku, aku tidak begitu memikirkan kemana dia pergi. Aku dan sekelompok ku dengan semangat mengikuti ospek itu meskipun terkadang kelompok ku berulah. Karena, menurut senior tugas mahasiswa itu adalah melawan.
Malam harinya dia menelfon ku, dengan basa-basi menanyakan aku sedang apa.
“Assalamualaikum?” kalimat pertama pada waktu dia menelfon ku
“waalaikum salam” jawab ku dengan santai, meski nomernya tidak aku simpan, namun aku mengenali suaranya.
“sedang apa? ” tanya dia kepada ku
“di rumah, kenapa ya? ” jawab ku
“tidak hanya sekedar bertanya” responnya
“oh iya jya” jawab ku mulai ketus karena, bagiku dia menelfon tidak begitu penting.
“hemm, ganggu ya?! ” dia kembali bertanya
“oh, tidak” jawab ku dengan nada santai
Pada akhirnya, dia menutup telfon karena kepentingannya sudah selesai meskipun hanya sekedar basa basi. Aku mulai berfikir, kenapa selama ospek dia selalu hubungin aku. Padahal itu pun tidak penting apa yang dibicarakan. Aneh memang, tapi terkadang keanehannya itulah yang membuat ku ngerasa dia berbeda dengan yang lain.
Tanggal 17 agustus 2018 merupakan hari terakhir opsek. Dimana aku bertemu dengannya pada waktu itu merupakan yang terakhir pula. Dikarenakan kita beda fakultas beda pula gedung kelas kita jadi untuk ketemu sulit. Sekalipun bisa, itupun harus ada janji dan terkadang tidak sengaja bertemu. Pada hari itu aku lewati hari terakhir ospek dengan canda tawa teman-teman ospek yang mungkin kali terakhir aku tertawa bersama dengan mereka. Keceriaan, kegaduhan serta kekonyolan selama tiga hari akan menjadi sebuah kenangan bersama dan sulit untuk bisa dilupakan dan dibuang. Karena, pada waktu itu merupakan waktu awal dimana aku bisa merubah pola pikir bahwa menjadi seorang mahasiswa tidak serumit yang aku bayangkan.
Pelepasan balon merah putih serta upacara 17 agustus merupakan acara penutup ospek pada waktu itu. Keceriaan serta teriakan kebahagiaan tedengar sangat ramai dan penuh haru biru karena harus berpisah. Namun meski begitu aku dengannya bukan berarti ikut berpisah, namun kita tetap berkomunikasi sampai aktif kuliah. Komunukasi kita lancar dan sesekali bergurau bersama. Namun dikala itu, pada saat dia menelfon ku ada beberapa kalimat yang diutarakannya kepada ku mengenai perasannya. Padahal pada waktu itu aku tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya. Jadi serba salah disaat ingin menjawab iya atau tidak. Karena terkadang posisi seorang wanita seperti buah simalakama. Yang disetiap bersikap terhadap laki-laki selalu serba salah. Namun aku harus mampu untuk tegas untuk mengatakan tidak kepadanya. Karena aku harus jujur dan mengatakan seadanya. Bahwa aku tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya. Dengan hembusan nafas kecewanya dia mengeluh namun tidak begitu terdengar jelas oleh ku, namun aku bisa memahami hal itu. Hal yang sudah biasa harus bisa diterima oleh smeua laki-laki pada saat mengungkapkan perasaan yang berharap untuk bisa diterima, namun semuanya tidak seperti yang diinginkannya.
Aktifitas kuliah sudah berjalan. para mahasiswa kala pagi itu, sangat ramai dihalaman kampus dan di gedung-gedung kampus. Serta dosen-dosen yang masuk keluar ruangan mengisi mata kuliah para mahasiswanya. Begitupun aku, pertama aktif masuk kuliah aku mencari-cari teman kelas dan saling berkenalan satu sama lain. Sampai keakraban terjalin dan hiruk pikuk kebahagiaan canda tawa terus mengalir meskipun terkadang sedih juga melanda. Namun semua itu tidak membuat teman-teman lemah untuk tetap solid dalam sebuah pertemanan.
Kala itu, aku tidak sengaja bertemu dengannya di depan gedung Fakultas ku. Dia tersenyum dan lalu menyapa ku, selayaknya dia melupakan kekecewaannya karena aku telah menolaknya. Aku kira dengan dia sudah kecewa terhadap ku dia bakal pergi dan tidak menghubungi ku lagi. Namun semua dugaan aku itu salah. Bahkan setekah aku tolak dia tidak henti-hentinya tetap menghubungi ku meskipun terkadang aku acuhkan. Tapi dengan usahanya yang gigih tetap berusaha mendekatiku walau hanya sekedar menelfin dan selalu chating. Dia tidak gampang menyerah, dia selalu menghubungi ku di setiap saat, walau hanya sekedar menanyakan kabar.
“Assalamualaikum” kalimat pertama yang selalu aku dnegar sewaktu dia menelfon ku.
“Waalaikum salam” jawab ku
“Bagaimana kabarnya? ” kembali bertanya kabar ku
“Alhamdulillah baik” jawab ku dengan sekilas
Seiring dengan selalu berkomunikasi aku denagnnya tumbuh rasa nyaman yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Ntah apa ini hanya sebatas rasa nyaman biasa atau malah bukan. Namun aku tetap bersikap biasa meskipun aku tau dia tetap berharap untuk bisa mendapatkan aku untuk bisa berhubungan lebih dari sekedar teman.
Hari demi hari, selalu aku lewati dengannya setiap saat berkomunikasi hingga sampai pada aku mulai memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tapi aku tutupi itu semua terhadapnya. Buarlah kita tetap berteman dengan semestinya walaupun sama-sama memiliki rasa yang sama. Namun ntah kenapa akhir-akhir ini disaat dia terjun ke organisasi kampus aku merasa sikapnya berubah terhadap ku. Tapi kala itu aku tetap berfikir positif karena, menurut ku, aku dan dia tidak memiliki hubungan apa-apa. Sampai pada titik jenuh aku dan dia tidak sama-sama tidak memberikan kabar selama tiga hari. Aku kira dia udah ngebuah rasa sayang dan sukanya terhadapku karena tidak ada kabar dan aku pun harus bisa bersikap sama jika memang benar dia ngebuang rsa sayang dan sukanya terhadap ku. Namun, tidak ku sangka malam hari dia menelfon ku lagi setelah tiga hari, seperti biasa, perbincangan itu kembali hadir dan membuat penyembuh dari rasa rindu yang sudah tiga aku pendam. Pada saat itu perbincangannya nampak serius meskipun pembahasannya sebuah rasa yang dia ungkapkan kembali terhadap ku.
“jujur aku tidak bisa jika tidak menelfon mu, selama tiga hari kamu tidak kabar aku nunggu kabar dari kamu” begitulah ungkapan rasa penantiannya terhadap kabar yang tak kunjung aku berikan kepadanya.
” ya.. Aku mana tau jika kamu menunggu kabar dari ku, malah aku kira selama tiga hari kamu tidak ada kabar, kamu udah ngebung rasa sayang dan suka kamu kepada aku”
Jawab ku dengan nada santai namun masih bisa bersikap ketus dengannya.
“ya… Allah mana mungkin aku bisa ngebuang semua itu, aku benar-benar serius jika aku sayang sama kamu” dengan nada agak tinggi di utarakan keseriusannya jika dia begitu sayang terhadap ku dan berharap bisa untuk menjalanu hubungan bersama ku.
” oh gtu ya… Aku kira kamu udah nyerah, karena kecewa dengan jawaban aku pada waktu itu” ungkap ku dengan suara pelan
“aku tidak akan menyerah, sampai kamu percaya dan sampai aku bisa membuktikan bahwa aku serius kepada kamu” dia ungkapkan kembali keseriusannya terhadap ku dengan berupaya membuat ku percaya bahwa dia benar-benar serius kepada ku.
Perbincangan itu terus berlanjut hingga jam 22:00. Namun aku tetap meragukan akan keseriusannya jika dia benar-benar sayang terhadap ku. Keraguan ku terhadapnya semakin menjadi meskipun pada awalnya aku hampir mempercayai setiap kalimat yang diuntaikan kepada ku. Namun mengingat akan janji ku terhadap diri ku sendiri mengenai aku sudah tidak lagi mau untuk berpacaran. Iya! Aku sudah berjanji pada diri ku sendiri perihal itu sejak aku mulai memutuskan untuk kuliah. Karena, menurut ku jika kita kuliah sambil berpacaran bisa dipastikan untuk fokus ke kuliah tidak akan stabil. Karena condong difikiran kita pasti terngiang dia, dia, dan dia. Jadi, kenapa aku memutuskan untuk tidak pacaran karena, aku tidak mau hal itu terjadi pada ku.
Aku jalani itu semua dengan hanya sepitas biasa saja, meski perasaan ini memang tidak bisa nafikkan. Tapi apa daya ku untuk memaksakan diir harus sama seperti mereka yang lain. Yang terpenting jalani saja sesuai porsinya dan yakinlah semua pasti akan ada akhirnya.
***
Ayam berkokok tanda pagi hari sudah datang membujuk ku untuk melakukan aktivitas yang sudah terbiasa aku lakukan. Meski terasa lelah namun, aku jalani itu semua dengan senang hati. Sampai pada akhirnya waktu untuk berangkat kuliah ku lakoni setelah semua pekerjaan ku selesai ku lakukan.
“tet tet tet………………… “
Bunyi klakson sepeda yang sering aku jumpai di jalanan kampus hingga membuat telingaku berdenging. Sesampainya aku didepan gedung yang sudah biasa aku jadikan tempat parkir sepeda disetiap kali aku sampai ke kampus.
“hey……. Knp melamun sih??? Ayok masuk tuh dosen udah datang, ntar telat lagi!! “
Ajakan teman kelas ku membuat ku kaget. Dengan sepintas aku alihkan pandanganku
kepadanya dan megikuti apa yang dikatakannya, untuk masuk kelas.
“heh iya iya iya! Ayok”
Sahut ku dengan spontan
Aku melamun karena melihat lalu lalang anak-anak kampus yang setiap harinya aku temui. Tidak ada yang aneh, tapi entah kenapa dan ada apa tiba-tiba aku melamun. Padahal hanya Sebatas lalu lalng biasa.
Setelah aku melewati ketiga tanggal pada waktu itu, aku merasa perubahan sudah mulai terjadi. Entah perubahan seperti apa, tapi perasaan ku selalu mengatakan kenapa sepertinya ada yang berubah.
“Hey,,, kamu kenapa keliatannya dari tadi sejak didalam kelas sampek makul berakhir murung terus wajahnya? Ada apa sih???” hampiran dan pertanyaan yang aku dapatkan dari teman kelas yang sedari tadi memerhatikan ku tanpa ku sadari.
“ah, tidak ada apa-apa lah, biasah capek aja” jawab ku santai sambil ku perbaiki raut wajah ku untuk tidak keliatan murung.
***
Setahun sudah aku melewati kuliah sangat tidak terasa meman, ketika mengingat sewaktu dibalik tiga tanggal itu. Berfikir waktu akan sangat lambat untuk menuju setahun aku kuliah namun, serasa sesingkat itu aku menjalani. Berkeinginan untuk memutar waktu, ingin sekali ku putar waktu pada masa itu, teringat selalu kejadian dibialik tiga tanggal itu. Tidak mudah aku lupakan meski sudah setahun aku lalui, Ntah ada apa dan kenapa semua ini aku rasakan seperti bergejolak batin. Tapi aku coba untuk ku tutupi itu semua dari teman-teman ku yang hanya sebatas tau aku masih biasa-biasa saja meskipun sebenarnya batin ku datang rasa bingung, bimbang hingga terkadang ntah apa yang harus pikirkan dari banyaknya beban yang aku rasakan.
Sejenak selesai kuliah aku kelur dari kelas mencoba mencari ketenangan dengan sedikit menghindar dari keramaian. Namun tidak lama deringan handpone ku berbunyi. Tak pelak kaget bukan main hingg segitu gugup aku memegang handpone sendiri melihat nama yang tampil dilayar kaca handpone ku adalah namanya. Nama yang setahun ini terfikirkan oleh ku tiada henti. Seketika itu, aku mencoba menenangkan prasaan ku sebelum aku memutuskan untuk mengangkat telfon darinya.
“halo! ” sapa ku dengan nama standar
“halo, apa kabar?, masih dengan kabar yang sama kah? Suara yang sangat aku kenal jelas
“alhamdulillah sehat dan masih sama” sahut ku
“oo,,,, ada dimana? “
“oh iya lama gk ada kabar kemana aja! ” pertanyaan itu, membuat ku spontan mengingat kebiasaannya dulu sewaktu masih sering menghubungi ku
“oh ada dikampus, lok soal kabar ada kok” sahut ku dengan tiada tenaga
Komunikasi berlangsung hingga berakhir karena harus masuk kembali ke kelas.
Seketika aku merasa, kenapa rasa ini semakin menjadi kenapa semakin meronta-ronta. Bukankah sudah bersemangat untuk melupakan mengingat tujuan utama untuk kuliah!
Tidak dapat ku pungkiri dan ku nafikan tentang rasa ini yang seketika menggebu tiada henti ingin sekali menyalahkan. Tapi, siapa yang patut disalahkan setelah semua terjadi?
Dia, dia siapa?
Yang datang menitip rasa lalu pergi tanpa pamit, tidak kah ku sadari kesalahan bukanlah sepenuhnya terletak didirinya. Namun, balik lagi kepada ku apakah aku mampu mengendalikan rasa ini?
Sungguh ku tak bisa berkata apa-apa seketika hati dan jiwa ku bertanya seperti itu, akenapa hanya angan-angan untuk bisa melepas lalu pergi. Kenapa tidak mencoba untuk tegas pada diri untuk pergi. Jika sudah mengenai prasaan tidak main-main seseorang akan dipenuhi oleh gejolak cinta yang sebenarnya itulah hanya sebatas nafsu. Ya, nafsu belaka yang jika tidak bisa kita lawan akan ke membuat kita hancur dan kecewa.
Dibalik tiga tanggal itu banyak hal yang aku dengannya arungi meskipun, hanya hitungan jam namun ntah kenapa terasa lama. Akankah karena prasaan ini yang sudah tak mampu lagi aku nafikan dan aku bohongi terhadap diri ku sendiri. Selepas dari dia menelfon aku memutuskan untuk pulang mengingat sudah tidak ada lagi yang harus kerjakan dan lakukan di kampus. Aku mendekati sepeda motor lalu bersiap untuk secepatnya pulang. Lelah seharian dikampus baru aku rasakan setelah sampai di rumah, aku letakkan tas, sepatu dan benda yang lain untuk meringankan beban ku. Setelah itu aku beranjak untuk sholat dan melakukan kebiasaan ku di rumah, yaitu nyapu dan beres-beres. Aku memang seperti itu, aktivitas ku dirumah layaknya seorang perempuan yang sudah berkeluarga harus membersihkan rumah, nyuci, ngepel dan masih banyak lagi. Setiap hari aku lakukan itu sebelum berangkat ke kampus menjalankan kewajiban untuk belajar. Semua itu aku lakukan karena kebiasaan ku yang tidak suka kotor, jika melihat rumah kotor serasa benci dan langsung membersihkannya.
Lepas dari itu semua aku juga mempunyai tujuan hidup namun, apalah daya hanya angan-angan namun positif pasti bisa untuk mencapainya.