Sore itu, masih tersisa kurang lebih seperempat jam awan cerah perlahan mulai meredup berganti senja. Matahari mulai tak terlihat. Hanya tinggal separuh menampakkan diri dibalik pegunungan. Cahayanya yang mulai berkurang menyilaukan mata Hanif. Ia tak mau ketinggalan menimati pemandangan yang penuh syahdu itu. Secepat mungkin Hanif mengambil ponselnya lalu memotret panorama senja dan sang raja kehidupan kembali ke tempat peristirahatannya. Burung-burung tak lagi berkicauan. Daun putri malu mulai tertutup dengan perlahan.
“Allahu akbar, Allahu akbar…!” Suara adzan maghrib terdengar nyaring memanggil asma Tuhan. Semua orang bersiap-siap mengambil air wudhu’. Anak-anak kecil dengan riangnya tampak berjalan menuju masjid di kampung ini. Hanif dan teman-teman barunya juga tak mau kalah melemparkan senyum meniru anak-anak itu seolah tak pernah punya beban hidup. Sudah dua hari Hanif singgah di kota orang. Kota Pasuruan yang dipenuhi bukut-bukit dan pegunungan yang tinggi menjulang. Ia tak mau lagi merasa ribet untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Bersama kawan-kawannya, Zainal, Nasrul, Subhan, Sofyan, dan seluruh peserta lomba MTQ tahun ini begitu kompak berjalan menuju masjid. Tak begitu jauh dari penginapannya, kurang lebih hanya seratus meter. Mereka pun melaksanakan shalat maghrib dengan penuh khidmat.
Bagi Hanif malam keempat di kampung Tretes terasa begitu berbeda. Ia menemukan suatu hal yang tak biasa. Mungkin baginya aneh, atau baru pertama kali ia melihat sosok yang sejurus langsung mengganggu pikirannya. Malam setelah ia pulang bersama kawan-kawannya dari masjid, tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang perempuan yang tampak keluar dari tempat penginapannya. Perempuan itu menunduk malu dan sedikit tersenyum walaupun memandang wajah Hanif hanya sedetik saja. Hanif mencoba memberanikan diri menyapa perempuan itu. “Dari mana mbak?” Sayangnya, suara truk yang tiba-tiba melintas membuat wanita itu tak mendengar suara Hanif. Ia berlalu dengan cepat dan menuju villa seberang. Hanif mengira perempuan itu adalah salah satu peserta MTQ dari Sampang juga. Namun selama pemberangkatan dari Sampang ke Pasuruan, ia tidak tahu satu per-satu wajah-wajah peserta.
Hanif merasa bimbang. Wajah perempuan itu tidak tampak begitu jelas karena gelapnya malam hanya disinari lampu temaram yang remang-remang. Angin malam yang membawa kedinginan tak mampu lagi dirasakannya. Ia segera masuk ke villa-nya. Sedang kawan-kawannya masih nongkrong di warung-warung. Entah mengapa Hanif tidak ikut bergabung dengan kawan-kawannya itu, malah ia merenung seorang diri. Dan ia juga tak menyangka akan berjumpa dengan perempuan yang penuh misteri itu. Tapi Hanif yakin seyakin-yakinnya kalau perempuan itu tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia bergumam dalam hatinya, “Hm…, mungkin dia peserta baru tahun ini.”
Malam berlalu begitu cepat. Fajar telah tiba dan menyingsing membawa harapan. Adzan subuh baru saja selesai berkumandang. Hanif dan kawan-kawannya berjamaah di masjid yang sama. Setelah mereka melaksanakan kegiatan rutinnya, ustadz Somad tiba-tiba memberitahu mereka untuk segera menuju villa bagian atas, kamar bagian para pembina lomba. Mereka pun bergegas keluar dari masjid. Tiba-tiba udara dingin mencekam kulit Hanif. Ia tak sanggup lagi rasanya berlama-lama hidup di kampung Tretes ini. Meskipun teman-temannya merasakan hal yang sama, tapi Hanif merasa paling tidak sabar dengan keadaan di lingkungan ini. Baginya ini sama halnya dengan berada di hamparan salju putih yang dinginnya begitu tajam.
Sampailah Hanif dan kawan-kawannya di villa bagian atas. Mereka pun duduk berjejer rapi sambil bersandar di tembok. Lima menit kemudian, nyai Fatimah dan nyai Saudah datang bersama peserta perempuan lomba lima juz tilawah, satu juz tilawah, dan peserta tartil anak-anak. Hanif sudah merasa tak asing lagi dengan kedatangan ketiga perempuan itu, karena mereka sudah berkali-kali ikut di tahun-tahun sebelumnya. Tiba-tiba pikiran Hanif tertuju pada seorang perempuan yang ia lihat semalam.
Antusias Hanif semakin besar ketika satu menit kemudian segerombolan peserta perempuan datang bersamaan. Hanif lihat wajah mereka satu persatu. Tiba-tiba Hanif terkejut melihat salah satu perempuan yang mengganggu pikirannya. “Ya! Itu dia”. Sergahnya kemudian. “Ada apa kak Hnif?” tanya Sofyan, peserta Fahmil Qur’an. “Eh, itu perempuan yang terakhir masuk ke ruangan sepertinya peserta baru ya?” Hanif tak tanggung-tanggung menanyakan langsung perihal perempuan itu. “Ya, kak. Dia peserta baru. cabang LKTI kak. Namanya Isna.”
Kini Hanif telah menemukan jawabannya. Perempuan misteri itu telah terungkap juga. Entah mengapa selama di penginapan BLK Sampang, Hanif sama sekali tak melihat perempuan baru itu. Apalagi setelah sampai di lokasi lomba ini. Tiga hari lamanya Hanif baru menyadari bahwa ada peserta baru yang mewakili cabang LKTI Al-Qur’an. Ia tertawa kecil dalam hatinya. Acara pun belum dimulai. Hanif tanpa henti-hentinya pandangi perempuan yang bernama Isna itu. Lagi-lagi Hanif merasa ada yang berbeda dari perempuan itu dengan perempuan-perempuan yang lain. Mereka yang tengah asyik berbicara dan ngobrol, Hanif perhatikan perempuan itu tampak diam saja. Menunduk memainkan jari tangannya. Dan tanpa sengaja Isna melihat wajah Hanif yang termenung, Hanif terkejut dan tak percaya. Ia pun tersenyum kepada perempuan itu. Dan perempuan itu pun tersenyum balik kepadanya sambil menunduk sapa. Hanif tak menyangka kalau ini akan terjadi. Ia berharap bisa berkenalan dengan perempuan itu.
Setelah semuanya sudah hadir dan lengkap, acara pun dimulai. Ustadz Kurdi membuka muqaddimah untuk mengawali acara. Rupanya semua peserta dan pembina dianjurkan unuk megikuti kegiatan istighatsah rutin selama perlombaan berjalan, yaitu selama sepuluh hari. Kegiatan ini diadakan setiap selesai shalat subuh di tempat yang sama. Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk memohon kepada Allah supaya diberi kelancaran dan keberkahan bagi peserta-peserta lomba.
Beberapa menit kemudian, acara perkumpulan selesai. Semuanya bubar. Hanif tak langsung beranjak dari tempat duduknya. Ia mencari Isna yang hampir saja mau keluar. Bagi Hanif, mungkin ini waktu yang cocok untuk meneliti gerak-gerik Isna. Tanpa pikir panjang, Hanif langsung berdiri dan mengajak teman-temannya keluar. “Sofyan, Nasrul, ayo lari pagi.” Mereka pun setuju dengan ajakan Hanif.
Mereka bertiga berjalan santai setelah keluar dari villa. Hanif berjalan mengikuti tanjakan kampung Tertes yang berkelok-kelok kadang menurun, kadang pula meninggi. Mereka begitu menikmati udara pagi dan disuguhi udara yang dingin mencekam menusuk pori-pori. Tampaknya Hanif tidak perlu lagi mengeluh akan cuaca barunya. Tiba-tiba perempuan itu menyembul keluar bersama kawan-kawannya. Hanif tanpa sengaja melihatnya satu kali lagi. Tanpa pikir panjang, Hanif menyapa Isna dengan menundukkan wajahnya sambil tersenyum. Hanif merasa lega setelah Isna membalas sapaan sederhananya itu.
Akhirnya para pejalan kaki di pagi hari itu mulai memisahkan diri. Hanif dan teman-temannya berjalan lebih awal, sedangkan si Isna dan teman-temannya yang lain berjalan di belakang mereka. Hanif juga sesekali memperhatikan Isna dari kejauhan. Hati Hanif semakin membuncah kala melihat perangai dan tingkah laku wanita itu yang tidak seperti biasanya. Isna, dengan penampilan yang serba sederhana, sangat pas dengan raut wajahnya yang lembut dipandang. Tak lincah seperti perempuan pada umumnya. Isna menonjol karena sifat diamnya, tutur katanya halus bila berbicara, tak tampak giginya bila ia tertawa. Meskipun wajah Isna tidak terlalu cantik, tapi ia enak dipandang. Sungguh Hanif bagaikan melihat bidadari, dan tampaknya Hanif benar-benar terpesona dengan perempuan itu.
“Hey, kak Hanif. Ayo…!” Ajak Nasrul yang tiba-tiba mengejutkan Hanif. Ia segera buyar dari lamunannya. Secuil senyuman tergores di wajahnya. “Sadarlah, Nif. Jangan katakan bahwa kau sedang jatuh hati pada perempuan itu!” Protesnya dalam hati.
Entah mengapa di hari yang kelima ini, setelah Hanif akhirnya kenal dengan Isna, yang setiap hari bertutur sapa dan saling membalas senyum, kini menimbulkan perasaan yang baru di hati Hanif. Setelah ia memutuskan untuk menyimpan perasaan suka kepada Isna dan ada hasrat dalam hatinya untuk mengutarakan semuanya, tak bisa ia lakukan lantaran malu yang selalu menghantui dirinya. Ia tak bisa menjadi laki-laki yang punya keberanian mengutarakan perasaannya terhadap seorang perempuan yang dikaguminya.
Perasaan baru yang ia dapatkan adalah kesakitan yang sungguh tak disangka-sangkanaya. Baru beberapa hari saja Hanif mengukir kisahnya di pegunungan Tretes, kini ia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit yang baru saja ia terima. Baru saja Hanif diberitahu oleh Sofyan dan kawan-kawannya yang lain, bahwa Arzam, peserta Tilawah remaja menyukai Isna. Hanif tak tahu lagi harus bagaimana bersikap sekarang. Ia menyadari, bahwa dirinya tak akan pernah pantas mendapatkan perempuan itu.
Semangat Hanif semakin menurun kala berita itu mulai tersebar ke seluruh peserta. Ada yang bilang, mereka hanya diolok-olok saja. Ada juga yang berpendapat, bahwa mereka dijodoh-jodohkan dengan maksud bergurau. Tapi itu tak ada bedanya bagi Hanif. Arzam pasti menyukai Isna. Karena beberapa kali sudah Hanif melihat mereka berdua berpapasan dan saling menyapa dengan memasangkan wajah ceria. Pernah juga sekali, saat berkumpul bersama peserta laki-laki, Arzam diolok-olok dengan Isna lalu dia merasa senang dan bahagia.
Kini Hanif hanya bisa pasrah dengan keadaan. Hati Hanif resah tak kunjung reda. Isna, yang selama ini ia pikirkan tiap menjelang tidur harus pupus begitu saja. Kini ia harus melepas perempuan yang dikaguminya lantaran diambil orang lain. Dan kini, nama Isna hanya tersimpan dalam hatinya. Permata yang ia baru ia temukan kini telah hilang dan pergi begitu saja. Hanif berusaha melupakannya dan membuang jauh-jauh bayangan perempuan itu dan menjadikannya sebagai pelengkap cerita cintanya yang tertunda.
*Mahasiswi IAIN Madura jurusan Syariah, Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir. Mahasiswa asal sampang ini bisa diakses melalui akun FB (Imroatun Jamilah), IG (Imroatun_Jamilah799), dan Nomor HP (085231473969)