Menu

Mode Gelap
HMPS Ekonomi Syari’ah Adakan Entrepreneurship Workshop Semarak Bulan Bahasa, HMPS TBIN Adakan Pemilihan Duta Bahasa Indonesia IAIN Madura Gelar Pisah Sambut Kabiro AUAK IAIN Madura Tidak Masuk 3 Besar Kampus Terbaik di Madura Versi Kemendikbudristek RI Dianggap Tidak Mendidik, Konten IMTV Mendapat Kritikan

Artikel Lawas · 22 Mei 2013 17:32 WIB ·

Cerpen: Semangatku adalah Milikku


 Cerpen: Semangatku adalah Milikku Perbesar

Kami adalah senyawa dalam semangat dan menyatu dalam iman yang di tancapkan lewat hayya alasshalah yang berkumandang tiap kebutuhan kami. Kami adalah lima sahabat sejak SD, berjanji untuk saling mentaati nasehat orang tua, guru, dan kakak kami. Semangat keimanan menciptakan ketaqwaan. Hal ini kami sadari saat bapak mengajak kami nonton bareng pengajian seorang kiai di televisi. Hal itu semakin memantapkan hatiku dan teman-teman tentang dunia yang fana dan kadang menipu ini.  “Teman syetan dan syetan itu adalah musuh yang nyata,” demikian buku yang aku baca dan sering didiskusikan, kami adalah kawan yang suka berlawanan pendapat tapi  suka kekompakan. Mana mungkin kami melangkah kompak menuju keselarasan dengan perbedaan yang belum teratasi? Diskusi adalah alat kami satu-satunya untuk mencapai hal tersebut.

Kebetulan hari ini adalah hari libur sekolah. Di hari minggu seperti ini aku biasanya mengajak teman-teman untuk berdiskusi dan bahkan membaca buku untuk menciptakan suasana baru dalam pemikiran. Kami berkumpul di tempat biasa, sebuah gardu yang telah berumur 3 tahun yang dibuatkan oleh bapaknya Ucok  sejak kami kelas VI SD. Lokasinya sekitar sepuluh meter di samping timur rumahnya. Hal ini semakin memudahkan kami untuk selalu berkumpul. Gardu ini dibangun berawal dari kami yang selalu nongkrong di jalan, dan berkumpul di tempat yang di pandang tidak indah oleh masyarakat sekitar. Alasan kedua adalah membentuk persaudaraan kami. Kami di anggap anak sendiri oleh bapaknya ucok, makan bareng, kadang seharian tidak pulang, sholat bersama, makan bersama.

Terkadang, tiap minggu kami di beri wejangan oleh bapaknya ucok dan ia juga sering menanyakan hasil belajar kami disekolah. Pak Usman, begitulah orang-orang memanggilnya. Dia adalah lulusan STAIN Pamekasan, satu-satunya perguruan tinggi islam negeri di Madura. Dia seorang guru Akhlak di sekolah kami dan ia sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Gardu itu tidak hanya kami jadikan sebagai tempat berkumpul, sering kali juga untuk tempat rujak-an,  dan juga untuk berdiskusi. Ucok adalah pimpinan diskusi kami, karena orangnya yang di kenal taqwa juga cerdas di semua bidang mata pelajaran di sekolah.

“Adakah orang yang tak memiliki cita-cita di dunia ini, khusunya bagi kaum kita yang telah putus asa karena biaya dan desakan keluarga untuk bekerja?”  tanyaku di sela-sela diskusi.

“Cita-cita bukanlah suatu hal yang harus ditulis dalam biografi di album sekolah. Orang yang gak sekolah aja punya cita-cita, apalagi kita yang sekolah. Semua orang punya cita-cita, tapi tidak semua orang memiliki semangat, dan orang yang sukses adalah orang yang punya cita-cita dan semangat.”  Sungguh mengagumkan jawaban yang Ucok berikan pada pertanyaanku. Membaca adalah motivasi baginya. Dia sangat suka membaca buku, bermainpun harus ada point yang dia ambil dari membaca. Bagiku, hidupnya pun kadang mengagumkan. Selain membaca, ia juga suka bernyanyi dan jalan-jalan. Meski bagiku travelling itu Cuma menghabiskan uang, tapi baginya adalah sebuah pengalaman yang membawa pencerahan.

Kami anak keturunan desa asli yang tidak mengenal kota dan kemewahan serta technology. Kami hanya memiliki kesetia kawanan, dimulai dari didikan orang tua sejak kecil yang mengajarkan arti kebersamaan. Kami adalah anak kepulauan yang jauh dari keramaian, yang sering diberitakan di radio dan telivisi. Kami belajar menyukuri bahwa hal ini adalah kebaikan yang akan kami dapatkan di akhirat kelak.

Kami merupakan sahabat yang memiliki cita-cita tinggi dengan tujuan untuk membangun pemuda yang berpengetahuan tinggi. Kami ingin membangun pulau Gili Raja yang menjadi tempat kami berpijak ini melalui pemuda yang berkualitas, tapi keadaan ekonomi kami tidak mampu mewujudkan keinginan itu.  Cuma  ucok yang bisa dikatan memiliki ekonomi dan pengetahuan yang cukup menjamin yang berkesempatan mendapatkan scholarship  tahun depan ke universitas gajah mada Yogyakarta. Aku dan yang lain tidak mampu mendaftar dan mengikuti hal tersebut karena keterbelakangan kami  tentang ke ilmuan dan sebuah penyesalan yang mendalam tentang defisiensi membaca buku.

Sesingkat itu aku rasakan kebersamaan bersama teman-teman. Mereka telah merantau dan ada juga yang telah menikah. Cuma dua orang yang mampu melanjutkan study, yaitu ucok dan eros, sungguh teragis sekali aku rasakan, semangat yang ada terpaksa harus kandas karena biaya yang tak terpenuhi.

“Aku lebih semangat dari pada mereka, kenapa aku tidak bisa mencapai cita-citaku, kepada siapa aku harus minta bantuan,, ahh! Kacau, tiada satupun yang mampu aku mintai bantuan, apa aku harus menunggu jalan diatas kemauanku ini, sungguh tidak mungkin,, kacau.. kacau”

Aku berkontemplasi dalam diri menuju  ucapan yang dulu ucok ucapkan tentang cita-cita. Aku harus nekat dengan keyakinanku untuk merantau mencari ilmu. Aku malu pada diriku sendiri jika aku cuma diam dan digesek oleh waktu yang semakin mengikis umurku detik demi detik. Tiada cara lain yang harus aku tempuh selain aku harus pergi dari rumah dengan baik-baik untuk mencari ilmu. Aku tidak mau hanya menjadi lulusan MA, apalagi cuma swasta. Aku harus membulatkan tekad untuk mengejar cita-cita dengan semangat.

Pagi yang begitu cerah, aku terdiam melukis kenangan tentang hidup di rumah yang terbuat dari rotan, aku harus  pergi, aku harus pergi. Aku mau menghadap orang tuaku untuk pamit sekarang.

“Pak.. saya mau bicara,” deg- degan rasanya saat menghadap Bapakku. Baru kali ini aku lancang mengajak bapakku berbicara.

“Apa nak?” ibu keluar dari dapur sambil membawa gorengan singkong

“Mau bicara apa jang?” sahut bapak.

“Pak, Buk”.. ujang mau kuliah.” Lega rasanya telah mengungkapkan hal itu. Bapak berhenti makan goreng singkong.

“Apa ? kamu mau kulah?”  aku tersentak mendengar ucapan bapak yang sepertinya marah mendengar permintaanku itu.

“Sudah pak, jangan pakai emosi dulu,” suara ibu berusaha meredam emosinya.

“Angin apa yang meniupmu hingga kau nekad mau kuliah. Kamu sudah tahu sendiri, bapak dan ibu mau cari makan aja sulit, apalagi mau membiayai kamu kuliah. Kamu tidak sadar tiap hari bapak cuma jadi tukang kuli bangunan, dan saat  inipun bapak tidak punya uang simpanan,”  aku merunduk mendengar itu semua.

“Siapa yang mengajak kamu untuk kuliah, kenapa baru sekarang kamu mau kuliah,  kamu kan sudah dua tahun nganggur.”  Tanya ibu yang semakin mencekam harapanku untuk memperoleh izin.

“Buk.. pak” saya tidak minta apa-apa. Saya cuma minta restu ibu dan bapak melalui basuhan air kaki ibu dan bapak, tidak lebih.”  Aku menitikkan air mata menuju luka dan keberanian dalam harapan.

“Bapak belum bisa memberimu izin, ibumu sedang hamil. Siapa yang akan menjaga ibumu bila bapak lagi pergi kerja?”  Aku tidak punya alasan lagi untuk membantah bapak. Aku harus menunggu kelahiran adikku atau aku harus menyuruh salah satu family ibu yang ada dijawa untuk pulang kerumah sampai ibu melahirkan. Aku kembali ke kamar, gagal sudah harapanku untuk memperoleh restu mereka.

Aku semakin kesal pada diriku sendiri. Aku takut semangatku hilang, aku takut harapan yang selama ini membuatku hidup lenyap. Kuambil telephone dan kuminta saudara Ibu yang ada di jawa untuk pulang agar bisa menjaga Ibu. Ku berjanji pada diriku sendiri untuk memberikan hadiah pada adikku kelak meski aku tidak bisa menjaganya saat berada dalam kandungan.

Sejauh ini apa yang hanya bisa saya lakukan dalam merangkul semangat dan cita cita demi ketaatanku terhadap orang tua. Antara semangat dan ketaatan, aku mengelus dada mempertimbangkan kebenaran harapan masa depan, antara masa depan pemuda dan orang tua. Padahal aku berharap namaku tertuulis dalam sejarah masa depan anak desa, membela semu keterpurukan dalam ilmu. Aku peduli tapi aku kaku, aku berani tapi malah aku terpaku. Tekadku semakin tidak menemukan titik kejelasan. Berdoa dengan merundukkan kepala diatas sajadah sungguh menenangkan.

Apa aku harus memilih beribadah tanpa ilmu? Bukakah ilmu jauh lebih penting dari segalanya? Bila ilmu adalah cahaya seperti yang dilontarkan oleh cahaya kenapa aku harus ragu untuk mencari cahaya itu? Bila ilmu adalah kesempurnaan, mengapa aku harus terdiam dengan kekuranganku? Bila ilmu adalah syurga, mengapa aku harus terdiam meresapi waktu yang membawaku ke neraka? Aku tutup semua bayangan tentang harapan, aku lebih baik tinggal dirumah dengan membaca buku, Kurasa ini alternative untuk mengisi kekosongan kedepan.

Merasa mendapat kegemberiaan hasil membaca, tersenyum paham bukan lucu, seperti ini yang kau maksud bahwa technologi telah banyak mempengaruhi kehidupan manusia di masa kini. Terkikisnya iman, terlupakannya sikap ketuhanan dengan kemudahan akses informatika.

“Manusia semakin memendam iman, menyimpan keimanan dengan ketika peran Tuhan telah terkubur dengan kemudahan hidup. Konsep trilogy tak lagi dipakai dalam kehidupan. Do’a, usaha, dan tawwakal.” Aku mengkritik dalam hati dan kutuangkan dalam kertas dan ku kirimkan kepada temanku yang kini kuliah di UI Jakarta. Aku adalah anak desa yang tak ingin jauh mengenal technologi. Aku tidak mau ada yang mengendalikanku selain-Nya.

Satu bulan telah berlalu, mungkin suratku  pada temanku telah tersampaikan. Aku merasa lebih bangga hidup dalam konsep trilogi yang telah jadi prisnsip umat beragama islam. Setelah semua tercapai, dengan mudah kita lalai berfikir dan mengingat lebih dalam siapa yang telah memberikan semuanya. Siapa yang harus mampu berfikir kecuali kita orang yang berilmu?

“Aku tidak membenci teknologi, tetapi aku memanfaatkannya dengan tanpa mengurangi nilai agama.” Begitulah isi surat yang eros kirimkan padaku yang tetap berada dalam pangkuan keterbelakangan di desa. Namun bagiku, buku tetaplah merupakan cakrawala berfikir yang tetap ku akui sebagai teman terbaikku saat ini. Semenjak dia meninggalkan desa, kekompakan tidak lagi terjaga, gardu yang dulu ramai kini telah rata dengan tanah bagai harta qorun dalam cerita al-qur’an. Gardu itu haanyalah sebuah cerita masa lalu yang terngiang kembali dalam memori kebersamaan.

“Bila bersama adalah aku, akan aku bunuh diriku sendiri untuk selamanya,”  hal ini yang menjadi renungan bagiku dalam gelapnya teknologi.  Persahabatan adalah urat nadi menuju relasi dan kuatnya persaudaraan yang kita jalin.

“Sahabat,  aku merindukanmu. Dalam rangkulan varian hidup yang lebih mudah dan indah menuju kemajuan iman dan ilmu. Memalingkan muka dalam kikisan waktu aku alihkan untuk mengingatNya.”  Semakin saja aku terasuki dalih-dalih mereka, kedua temanku. Aku terlalu fanatic terhadap keadaanku yang serba biasa, menyatu dengan hukum budaya, menenangkan hati dalam keselarasan dan kesepakatan dalam semuanya. Tak ada lagi keindahan membaca dan membaca buku dalam ruang kamar.

Oleh ; ongky arista ujag arisandi
11 oktober 2012

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Artikel Lawas · 22 Mei 2013 17:32 WIB ·

Cerpen: Semangatku adalah Milikku


 Cerpen: Semangatku adalah Milikku Perbesar

Kami adalah senyawa dalam semangat dan menyatu dalam iman yang di tancapkan lewat hayya alasshalah yang berkumandang tiap kebutuhan kami. Kami adalah lima sahabat sejak SD, berjanji untuk saling mentaati nasehat orang tua, guru, dan kakak kami. Semangat keimanan menciptakan ketaqwaan. Hal ini kami sadari saat bapak mengajak kami nonton bareng pengajian seorang kiai di televisi. Hal itu semakin memantapkan hatiku dan teman-teman tentang dunia yang fana dan kadang menipu ini.  “Teman syetan dan syetan itu adalah musuh yang nyata,” demikian buku yang aku baca dan sering didiskusikan, kami adalah kawan yang suka berlawanan pendapat tapi  suka kekompakan. Mana mungkin kami melangkah kompak menuju keselarasan dengan perbedaan yang belum teratasi? Diskusi adalah alat kami satu-satunya untuk mencapai hal tersebut.

Kebetulan hari ini adalah hari libur sekolah. Di hari minggu seperti ini aku biasanya mengajak teman-teman untuk berdiskusi dan bahkan membaca buku untuk menciptakan suasana baru dalam pemikiran. Kami berkumpul di tempat biasa, sebuah gardu yang telah berumur 3 tahun yang dibuatkan oleh bapaknya Ucok  sejak kami kelas VI SD. Lokasinya sekitar sepuluh meter di samping timur rumahnya. Hal ini semakin memudahkan kami untuk selalu berkumpul. Gardu ini dibangun berawal dari kami yang selalu nongkrong di jalan, dan berkumpul di tempat yang di pandang tidak indah oleh masyarakat sekitar. Alasan kedua adalah membentuk persaudaraan kami. Kami di anggap anak sendiri oleh bapaknya ucok, makan bareng, kadang seharian tidak pulang, sholat bersama, makan bersama.

Terkadang, tiap minggu kami di beri wejangan oleh bapaknya ucok dan ia juga sering menanyakan hasil belajar kami disekolah. Pak Usman, begitulah orang-orang memanggilnya. Dia adalah lulusan STAIN Pamekasan, satu-satunya perguruan tinggi islam negeri di Madura. Dia seorang guru Akhlak di sekolah kami dan ia sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Gardu itu tidak hanya kami jadikan sebagai tempat berkumpul, sering kali juga untuk tempat rujak-an,  dan juga untuk berdiskusi. Ucok adalah pimpinan diskusi kami, karena orangnya yang di kenal taqwa juga cerdas di semua bidang mata pelajaran di sekolah.

“Adakah orang yang tak memiliki cita-cita di dunia ini, khusunya bagi kaum kita yang telah putus asa karena biaya dan desakan keluarga untuk bekerja?”  tanyaku di sela-sela diskusi.

“Cita-cita bukanlah suatu hal yang harus ditulis dalam biografi di album sekolah. Orang yang gak sekolah aja punya cita-cita, apalagi kita yang sekolah. Semua orang punya cita-cita, tapi tidak semua orang memiliki semangat, dan orang yang sukses adalah orang yang punya cita-cita dan semangat.”  Sungguh mengagumkan jawaban yang Ucok berikan pada pertanyaanku. Membaca adalah motivasi baginya. Dia sangat suka membaca buku, bermainpun harus ada point yang dia ambil dari membaca. Bagiku, hidupnya pun kadang mengagumkan. Selain membaca, ia juga suka bernyanyi dan jalan-jalan. Meski bagiku travelling itu Cuma menghabiskan uang, tapi baginya adalah sebuah pengalaman yang membawa pencerahan.

Kami anak keturunan desa asli yang tidak mengenal kota dan kemewahan serta technology. Kami hanya memiliki kesetia kawanan, dimulai dari didikan orang tua sejak kecil yang mengajarkan arti kebersamaan. Kami adalah anak kepulauan yang jauh dari keramaian, yang sering diberitakan di radio dan telivisi. Kami belajar menyukuri bahwa hal ini adalah kebaikan yang akan kami dapatkan di akhirat kelak.

Kami merupakan sahabat yang memiliki cita-cita tinggi dengan tujuan untuk membangun pemuda yang berpengetahuan tinggi. Kami ingin membangun pulau Gili Raja yang menjadi tempat kami berpijak ini melalui pemuda yang berkualitas, tapi keadaan ekonomi kami tidak mampu mewujudkan keinginan itu.  Cuma  ucok yang bisa dikatan memiliki ekonomi dan pengetahuan yang cukup menjamin yang berkesempatan mendapatkan scholarship  tahun depan ke universitas gajah mada Yogyakarta. Aku dan yang lain tidak mampu mendaftar dan mengikuti hal tersebut karena keterbelakangan kami  tentang ke ilmuan dan sebuah penyesalan yang mendalam tentang defisiensi membaca buku.

Sesingkat itu aku rasakan kebersamaan bersama teman-teman. Mereka telah merantau dan ada juga yang telah menikah. Cuma dua orang yang mampu melanjutkan study, yaitu ucok dan eros, sungguh teragis sekali aku rasakan, semangat yang ada terpaksa harus kandas karena biaya yang tak terpenuhi.

“Aku lebih semangat dari pada mereka, kenapa aku tidak bisa mencapai cita-citaku, kepada siapa aku harus minta bantuan,, ahh! Kacau, tiada satupun yang mampu aku mintai bantuan, apa aku harus menunggu jalan diatas kemauanku ini, sungguh tidak mungkin,, kacau.. kacau”

Aku berkontemplasi dalam diri menuju  ucapan yang dulu ucok ucapkan tentang cita-cita. Aku harus nekat dengan keyakinanku untuk merantau mencari ilmu. Aku malu pada diriku sendiri jika aku cuma diam dan digesek oleh waktu yang semakin mengikis umurku detik demi detik. Tiada cara lain yang harus aku tempuh selain aku harus pergi dari rumah dengan baik-baik untuk mencari ilmu. Aku tidak mau hanya menjadi lulusan MA, apalagi cuma swasta. Aku harus membulatkan tekad untuk mengejar cita-cita dengan semangat.

Pagi yang begitu cerah, aku terdiam melukis kenangan tentang hidup di rumah yang terbuat dari rotan, aku harus  pergi, aku harus pergi. Aku mau menghadap orang tuaku untuk pamit sekarang.

“Pak.. saya mau bicara,” deg- degan rasanya saat menghadap Bapakku. Baru kali ini aku lancang mengajak bapakku berbicara.

“Apa nak?” ibu keluar dari dapur sambil membawa gorengan singkong

“Mau bicara apa jang?” sahut bapak.

“Pak, Buk”.. ujang mau kuliah.” Lega rasanya telah mengungkapkan hal itu. Bapak berhenti makan goreng singkong.

“Apa ? kamu mau kulah?”  aku tersentak mendengar ucapan bapak yang sepertinya marah mendengar permintaanku itu.

“Sudah pak, jangan pakai emosi dulu,” suara ibu berusaha meredam emosinya.

“Angin apa yang meniupmu hingga kau nekad mau kuliah. Kamu sudah tahu sendiri, bapak dan ibu mau cari makan aja sulit, apalagi mau membiayai kamu kuliah. Kamu tidak sadar tiap hari bapak cuma jadi tukang kuli bangunan, dan saat  inipun bapak tidak punya uang simpanan,”  aku merunduk mendengar itu semua.

“Siapa yang mengajak kamu untuk kuliah, kenapa baru sekarang kamu mau kuliah,  kamu kan sudah dua tahun nganggur.”  Tanya ibu yang semakin mencekam harapanku untuk memperoleh izin.

“Buk.. pak” saya tidak minta apa-apa. Saya cuma minta restu ibu dan bapak melalui basuhan air kaki ibu dan bapak, tidak lebih.”  Aku menitikkan air mata menuju luka dan keberanian dalam harapan.

“Bapak belum bisa memberimu izin, ibumu sedang hamil. Siapa yang akan menjaga ibumu bila bapak lagi pergi kerja?”  Aku tidak punya alasan lagi untuk membantah bapak. Aku harus menunggu kelahiran adikku atau aku harus menyuruh salah satu family ibu yang ada dijawa untuk pulang kerumah sampai ibu melahirkan. Aku kembali ke kamar, gagal sudah harapanku untuk memperoleh restu mereka.

Aku semakin kesal pada diriku sendiri. Aku takut semangatku hilang, aku takut harapan yang selama ini membuatku hidup lenyap. Kuambil telephone dan kuminta saudara Ibu yang ada di jawa untuk pulang agar bisa menjaga Ibu. Ku berjanji pada diriku sendiri untuk memberikan hadiah pada adikku kelak meski aku tidak bisa menjaganya saat berada dalam kandungan.

Sejauh ini apa yang hanya bisa saya lakukan dalam merangkul semangat dan cita cita demi ketaatanku terhadap orang tua. Antara semangat dan ketaatan, aku mengelus dada mempertimbangkan kebenaran harapan masa depan, antara masa depan pemuda dan orang tua. Padahal aku berharap namaku tertuulis dalam sejarah masa depan anak desa, membela semu keterpurukan dalam ilmu. Aku peduli tapi aku kaku, aku berani tapi malah aku terpaku. Tekadku semakin tidak menemukan titik kejelasan. Berdoa dengan merundukkan kepala diatas sajadah sungguh menenangkan.

Apa aku harus memilih beribadah tanpa ilmu? Bukakah ilmu jauh lebih penting dari segalanya? Bila ilmu adalah cahaya seperti yang dilontarkan oleh cahaya kenapa aku harus ragu untuk mencari cahaya itu? Bila ilmu adalah kesempurnaan, mengapa aku harus terdiam dengan kekuranganku? Bila ilmu adalah syurga, mengapa aku harus terdiam meresapi waktu yang membawaku ke neraka? Aku tutup semua bayangan tentang harapan, aku lebih baik tinggal dirumah dengan membaca buku, Kurasa ini alternative untuk mengisi kekosongan kedepan.

Merasa mendapat kegemberiaan hasil membaca, tersenyum paham bukan lucu, seperti ini yang kau maksud bahwa technologi telah banyak mempengaruhi kehidupan manusia di masa kini. Terkikisnya iman, terlupakannya sikap ketuhanan dengan kemudahan akses informatika.

“Manusia semakin memendam iman, menyimpan keimanan dengan ketika peran Tuhan telah terkubur dengan kemudahan hidup. Konsep trilogy tak lagi dipakai dalam kehidupan. Do’a, usaha, dan tawwakal.” Aku mengkritik dalam hati dan kutuangkan dalam kertas dan ku kirimkan kepada temanku yang kini kuliah di UI Jakarta. Aku adalah anak desa yang tak ingin jauh mengenal technologi. Aku tidak mau ada yang mengendalikanku selain-Nya.

Satu bulan telah berlalu, mungkin suratku  pada temanku telah tersampaikan. Aku merasa lebih bangga hidup dalam konsep trilogi yang telah jadi prisnsip umat beragama islam. Setelah semua tercapai, dengan mudah kita lalai berfikir dan mengingat lebih dalam siapa yang telah memberikan semuanya. Siapa yang harus mampu berfikir kecuali kita orang yang berilmu?

“Aku tidak membenci teknologi, tetapi aku memanfaatkannya dengan tanpa mengurangi nilai agama.” Begitulah isi surat yang eros kirimkan padaku yang tetap berada dalam pangkuan keterbelakangan di desa. Namun bagiku, buku tetaplah merupakan cakrawala berfikir yang tetap ku akui sebagai teman terbaikku saat ini. Semenjak dia meninggalkan desa, kekompakan tidak lagi terjaga, gardu yang dulu ramai kini telah rata dengan tanah bagai harta qorun dalam cerita al-qur’an. Gardu itu haanyalah sebuah cerita masa lalu yang terngiang kembali dalam memori kebersamaan.

“Bila bersama adalah aku, akan aku bunuh diriku sendiri untuk selamanya,”  hal ini yang menjadi renungan bagiku dalam gelapnya teknologi.  Persahabatan adalah urat nadi menuju relasi dan kuatnya persaudaraan yang kita jalin.

“Sahabat,  aku merindukanmu. Dalam rangkulan varian hidup yang lebih mudah dan indah menuju kemajuan iman dan ilmu. Memalingkan muka dalam kikisan waktu aku alihkan untuk mengingatNya.”  Semakin saja aku terasuki dalih-dalih mereka, kedua temanku. Aku terlalu fanatic terhadap keadaanku yang serba biasa, menyatu dengan hukum budaya, menenangkan hati dalam keselarasan dan kesepakatan dalam semuanya. Tak ada lagi keindahan membaca dan membaca buku dalam ruang kamar.

Oleh ; ongky arista ujag arisandi
11 oktober 2012

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

TAMPUK KEKUASAAN RATU DARI KERAJAAN UTARA

29 Juli 2024 - 14:08 WIB

Sumber: Pinterest

TAKDIR DI PERSIMPANGAN JALAN

16 Mei 2024 - 02:12 WIB

Kisah Cinta Anak SMA

Mawar dan Durinya

21 Juni 2023 - 03:36 WIB

Perjalanan Cahaya

29 Mei 2023 - 13:40 WIB

Pelangi Setelah Hujan

26 Mei 2022 - 04:15 WIB

Pertama Naik Angkot Umum

24 Mei 2022 - 10:10 WIB

Trending di Artikel