Oleh: Eiffah E*
Seperti yang sering ebhu katakan, akan tiba saatnya ia melahirkan anak-anaknya. Melahirkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih kecil atau lebih besar, sesuatu yang lebih berguna bagi makhluk bernyawa bernama manusia. Saat itu ebhu akan tiada, nyawa ebhu telah ia bagikan untuk anak-anaknya. Maka ebhu berpesan, agar kami bermanfaat bagi para manusia—entah kami akan menjadi apa setelah lahir. Kami hanya harus mengabdi pada mereka tanpa mengharap apa pun, bahkan walau pada akhirnya kami harus tiada sebab manusia-manusia itu.
Usai dilahirkan, aku hanya menjadi sepotong bambu kecil yang bahkan aku sendiri tak tahu apa manfaatku untuk manusia. Saudara-saudaraku—yang seebhu denganku—sekarang telah menjadi lincak. Kalau dibandingkan dengan mereka, apalah pentingnya aku bagi manusia. Bahkan sampai sekarang pun aku masih mencari jati diriku: akan berakhir di manakah aku, seberapa bermanfaatnya aku serta sepenting apakah aku bagi manusia kelak.
Sejak berpisah dari saudara-saudaraku waktu itu, aku hanya bisa pasrah menerima apa yang telah dan akan terjadi padaku, dan memang sudah kodratnya sebuah benda untuk menerima apa pun yang terjadi padanya. Kalau hanya merasa terbuang, kukira itu sudah makanan sehari-hari.
Pernah suatu kali aku digunakan anak-anak untuk bermain, aku tak tahu apa nama permainan itu, jelasnya ujung tubuhku diruncingkan terlebih dahulu untuk kemudian digunakan menusuk balon-balon berisi air. Itu masih dapat kuterima, permainannya cukup menyenangkan. Aku sudah tak peduli apakah aku basah kuyup saat itu, atau merasakan sakit yang luar biasa sekali pun, yang penting aku digunakan. Pernah juga di kali yang lain, setelah digunakan seorang wanita muda mengais sampah di selokan, aku dibuang ke tepi sungai. Dan belum sempat tubuhku kering, seorang wanita paruh baya mengambilku, lantas menyurukkanku pada setumpuk kotoran manusia, yang kuduga milik anak kecil yang berdiri di sampingnya. Kotoran itu dibuangnya ke sungai, lalu aku dibuangnya pula ke sana bersama mereka.
Kukira perjalananku hanya sekedar mengikuti arus sungai yang sudah tentu berakhir di laut lepas. Namun ternyata di tengah perjalanan, aku terhenti oleh batu besar di bagian kanan sungai. Seorang lelaki tua yang baru menyelesaikan mandinya memungutku, lalu membawaku bersamanya.
Lelaki itu membawaku menyusuri jalanan basah di pematang sawah, lalu berjalan menanjak, menurun, datar, menanjak lagi, dan terus seperti itu hingga beberapa kali. Entah, aku tak tahu kekuatan macam apa yang dimiliki lelaki tua macam dia hingga mampu berjalan jauh seperti ini. Untuk ukuran seorang lelaki tua seperti dirinya, seharusnya napasnya sudah terengah-engah dengan peluh yang sudah seperti orang mandi dan beristirahat empat sampai lima kali. Namun meski dengan rute perjalanan yang menurutku cukup ekstrem seperti itu, kudengar napasnya masih normal, dapat pula dihitung dengan jari berapa kali ia mengusap peluh di keningnya, serta belum istirahat barang sedetik pun. Entah dia malaikat atau bagaimana aku tak betul-betul mengerti. Yang jelas, perasaan bahagia dalam diriku bertambah menjadi ratusan kali lipat dari sebelumnya, merasa beruntung sekarang berada di genggaman lelaki tua yang layaknya malaikat di mataku.
Setelah hanya bertemu belantara selama sekitar dua jam, akhirnya kami sampai ke sebuah perkampungan kecil yang asri di balik bukit. Kami mulai memasuki kampung. Orang-orang di jalan langsung menunduk hormat ketika berpapasan dengan lelaki tua yang bersamaku ini. Para petani yang sedang menanam padi di sawah pun sejenak meninggalkan pekerjaannya, menunduk hormat meski berjarak cukup jauh dari jalan yang kami lalui. Kuduga lelaki tua ini memang tokoh masyarakat di sini.
Dan benar saja, kami tiba di depan rumah yang paling besar dan bagus di antara rumah-rumah lainnya. Di beranda rumah, menunggu seorang wanita paruh baya yang sontak bangkit dari duduknya melihat kehadiran kami.
“Sudah dua jam santri Abah menunggu,” katanya. Ah! Jadi lelaki ini seorang kiai di sini, dan wanita itu isterinya. Maka aku akan mulai menggunakan kata ‘beliau’ untuk menceritakannya kali ini.
“Mereka masih menunggu?”
“Iya, ada di musala.”
Beliau hanya tersenyum simpul, lalu berlalu ke halaman belakang. Beliau menuju musala, menghampiri para santri. Keadaannya sudah seperti kapal yang hampir berkali-kali akan pecah. Semua santri sudah tidur, hanya ada dua sampai tiga orang yang masih bertahan menunggu sembari membaca Al-Qur’an.
“Setidaknya masih ada, dari pada tidak,” gumam beliau.
Beliau langsung naik ke musala, bergegas mengajar para santrinya. Beliau menggunakanku untuk mengajar, menjelaskan ilmu nahwu-shorrof di papan. Beliau pun teramat sabar ketika menjelaskan pada para santrinya. Kusaksikan beliau mengulang-ngulang penjelasannya. Dan meski terkadang santrinya menurutku teramat menjengkelkan, beliau tetap sabar.
Perjalananku berjalan lancar sejak itu. Beliau tak pernah menyepelekanku yang hanya sepotong bambu kecil yang ukurannya saja tak sampai satu meter dan berdiameter sekitar dua sentimeter. Setiap hari, aku sibuk menemani beliau mengajar, mendengar cerita dan candanya bersama sang istri di meja makan, melihat keseruannya bertani di sawah, dan masih banyak lagi. Tak ada masalah yang berarti. Pun, aku turut menjadi saksi bisu perkembangan pesantren beliau dalam dua tahun kemudian. Santrinya semakin bertambah, mereka datang dari berbagai penjuru negeri ini, dan mau tak mau asrama harus diperluas, masyarakat sekitar bahu-membahu memperluas pesantren. Aku pun tak menyangka aku dapat bertahan selama ini tanpa cacat sedikit pun, sebab aku tak pernah ditaruh sembarangan oleh beliau. Sungguh, betapa aku merasa amat sempurna dan telah cukup bermanfaat.
Namun kemudian, pada suatu malam, beliau marah besar. Teramat besar hingga tubuhku gemetar, pesantren pun gempar. Lelaki tua yang sekarang makin ringkih itu belum pernah marah sebesar ini dalam persaksianku dalam dua tahun terakhir. Mungkin sebagai luapan amarahnya yang selama ini nyaris selalu beliau tahan dan pendam. Ya, walaupun terkadang ada pula sedikit ketegangan antara beliau dan sang istri, namun itu selalu bisa diselesaikan sebab kesabaran keduanya.
Dan kali ini beliau benar-benar marah. Salah satu santri kesayangannya kedapatan bertemu di semak belakang pesantren, dengan seorang santriwati yang pula santrinya. Aku tak tahu apa saja yang dilakukan oleh santri itu, kudengar dari kabar mereka sampai melakukan hubungan intim, namun aku tak terlalu yakin, sebab sangat tak pantas untuk benda sepertiku menduga hal yang tidak pantas serta terlalu ikut campur urusan mereka. Yang jelas, beliau teramat murka saat itu, sebab aku tahu baru kali ini salah satu santrinya melakukan pelanggaran. Tentu tak dapat terbayangkan betapa sakit hatinya beliau.
Maka saat itu pula, santri dan santriwati tersebut langsung dipulangkan ke keluarganya masing-masing. Betapa keduanya itu telah diberhentikan secara tidak terhormat, dan betapa teramat malu pula keduanya dan keluarga mereka masing-masing. Beruntung keduanya itu dari desa lain, kalau saja mereka dari desa ini tentu aku pun akan menyaksikan hukuman masyarakat padanya.
Sejak saat itu, beliau mulai berubah. Aku seperti tak lagi mengenal beliau. Setiap harinya beliau marah-marah. Beliau nyaris membesarkan semua masalah. Melakukan kesalahan sedikit saja, beliau langsung murka. Kian hari rasa kagumku pada beliau kian berkurang. Aku sekarang pun beralih fungsi. Menjadi pemukul bagi santri yang kedapatan melakukan kesalahan.
Dan pada suatu pagi, kejadian yang sama terulang kembali. Bahkan yang kali ini lebih parah dari sebelumnya. Beliau mendapati santrinya tidur di salah satu kamar dengan tanpa busana. Beliau langsung menggiring mereka ke halaman pesantren, menggunakanku untuk mendera keduanya.
Aku merasakan sakit yang luar biasa menjalari sekujur tubuhku, belum pernah aku merasakan yang lebih sakit dari ini. Betapa beliau sangat marah kala itu. Betapa beliau memecut mereka disertai derai air mata yang tak pernah aku melihat beliau semarah dan sesedih itu. Betapa pula aku sudah tidak kuat bertahan dengan keadaan ini. Maka genap pada pecutan yang ke seratus, aku patah, aku tiada, berganti menjadi sesuatu yang berbeda—kehancuran. Setelahnya aku juga tidak tahu, apakah benda semacam aku juga dapat dianggap menemui ajal dalam bentuk kehancuran-kehancuran semacam itu.
Karangcempaka, 7-9 Januari 2019
*Bernama lengkap Eiffah Eizzatul Umami. Lahir di Sumenep, 27 Agustus 2001. Aktif di Sanggar Alfabet pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka-Bluto Sumenep, dalam kelas kreatif “Menulis Cerpen”. Penyuka musik, sastra, tumpukan buku, dan senja.