Menu

Mode Gelap
HMPS Ekonomi Syari’ah Adakan Entrepreneurship Workshop Semarak Bulan Bahasa, HMPS TBIN Adakan Pemilihan Duta Bahasa Indonesia IAIN Madura Gelar Pisah Sambut Kabiro AUAK IAIN Madura Tidak Masuk 3 Besar Kampus Terbaik di Madura Versi Kemendikbudristek RI Dianggap Tidak Mendidik, Konten IMTV Mendapat Kritikan

Artikel · 15 Mei 2013 17:35 WIB ·

Benih Romantisme dalam Intelektualitas


 Benih Romantisme dalam Intelektualitas Perbesar

Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya, dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup.
– Film Habibie & Ainun

Sepanjang sejarah, kisah cinta identik dengan kemesraan antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebut saja kisah cinta yang sudah mendunia seperti Romeo dan Juliet. Label romantis dalam bingkai cinta seolah sudah melekat pada manusia, sehingga seakan-akan tanpa romantisme cinta itu hambar. Dalam kalangan mahasiswa fenomena romantisme di kampus mudah ditemui, tentunya dengan berbagai variasi. Ada yang masih wajar namun ada juga yang lebih ekstrem, yakni romantisme platonis dimana lebih mengutamakan pada hawa nafsu. Keadaan yang seperti ini perlahan menggeser peran dasar mahasiswa sebagai agent of control.

Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Tanggung jawab sosial ini tidak akan berfungsi jika mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ranah sosial di sekitarnya. Dan untuk mengetahui hal tersebut diperlukan transfer informasi dan transfer pemikiran sehingga fungsi mahasiswa sebagai agent of social control bisa berjalan dengan baik. Betapa pentingnya intelektualitas bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa selalu dilabelkan sebagai “kaum intelektual”. Namun jika kita melihat mahasiswa-mahasiswa romantis yang mengumbar cinta dalam balutan nafsu, apakah label ‘intelektual’ masih pantas?

Melihat peran mahasiswa sebagai kontrol sosial, fenomena romantisme di kampus perlu kiranya untuk dimonitor. Jangan sampai mahasiswa menjadi suatu kelompok yang melakukan aksi “lempar batu sembunyi tangan”. Mereka mampu mengontrol fenomena di sekitarnya, akan tetapi melupakan controling terhadap fenomena romantisme yang terjadi dalam internal kampus mereka. Romantisme di kalangan mahasiswa juga bukan merupakan hal yang baru. Dan merupakan tugas kita selaku generasi intelektual bangsa untuk melakukan “monitoring” dan “controling” terhadap hal tersebut, karena sesuatu yang tidak dikontrol bisa mendatangkan mudharat. Kontrol yang dilakukan bukanlah berupa kekangan terhadap romantisme, melainkan lebih kepada kontrol pemikiran dan paradigma terhadap romantisme itu sendiri.

Bernard Shaw pernah berujar “progress is impossible without change,and those who cannot change their minds cannot change anything.” (Peningkatan itu tidak mungkin tanpa adanya perubahan, dan mereka yang tidak bisa mengubah pikiran mereka tidak bisa mengubah apa pun). Pemikiran terhadap romantisme perlu dikaji lagi, mengingat pada praktiknya romantisme menjadi pedoman bagi mahasiswa yang ingin merealisasikan perasaannya kepada lawan jenis, yang kemudian bisa membawa pada hal-hal yang negatif.

“Orang yang terpelajar (Mahasiswa) harus berpikir adil sejak dari pemikiran, apalagi dengan perbuatan”. Jika kita mengamati perkataan Pramoedya Ananta Toer tersebut maka pemikiranlah yang terpenting. Pemikiran dasar dari mahasiswa tentang romantisme haruslah direkonstruksi kembali.

Hal ini sejalan dengan pendapat Albert Einstein yang mengatakan “we cannot solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them“. (Kita tidak dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan pemikiran yang sama saat kita membuat masalah tersebut). Sekali lagi, mindset menjadi pondasi yang harus diperkuat dalam mengartikan romantisme itu sendiri. Dan mahasiswa sebagai agent of change harus bisa mengubah mindset yang keliru terhadap romantisme menjadi mindset yang tepat.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengubah mindset mengenai romantisme ke arah yang positif. Mahasiswa yang merupakan kaum intelektual harus bisa memposisikan dirinya sebagai intelektual muda tanpa melupakan sisi romantis pada dirinya. Romantisme bukan lagi romantisme yang bersifat hedonis, yang hanya memikirkan kesenangan sesaat. Romantisme yang harus ada di benak mahasiswa adalah romantisme yang konstruktif dan membangun pemikiran mereka.

Kemudian, romantisme yang ada adalah sebagai sarana menuju intelektualitas. Dengan adanya cinta dan romantisme, jadikan itu sebagai motivasi untuk maju dan terus berkembang. Mc Donald mengatakan, “motivation is an energy change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions,” (motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan). Dengan menjadikan romantisme sebagai motivasi, dan meningkatnya intelektualitas sebagai tujuan, maka romantisme dan intelektualisme bisa berjalan berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.

Selanjutnya, jadikan organisasi sebagai wadah untuk menampung dan mengembangkan bibit intelektual dalam diri kita. Dengan menjadi aktivis di organisasi kampus maupun di luar kampus, setidaknya akan memberikan wawasan dan pengalaman yang lebih. Di samping itu bagi seorang aktivis, romantisme yang terjalin bukanlah melalui hal-hal yang tidak berguna, melainkan melalui diskusi-diskusi, kajian dan gerakan menuju perubahan.

Kembali lagi pada quotes pembuka tulisan ini yang diambil dari film Habibie dan Ainun, cinta dan kecerdasan, romantisme dan intelektual harus menyatu. Jika sebelumnya romantisme erat kaitannya dengan pacaran, maka sekarang romantisme adalah suatu bentuk realisasi dan pengokohan dari intelektualitas mahasiswa. Saat kedua lawan jenis bertemu dalam suatu tempat, jadilah pribadi yang romantis dan intelektualis di saat yang bersamaan. Jadikan diskusi dan sharing sebagai appetizer (pembuka) dari romantisme. Kemudian lanjutkan dengan kemesraan dan keselarasan dalam mencari solusi dari permasalahan kampus dan juga manusia yang bersifat plural.

Surat cinta bukan lagi melalui kata-kata yang dirangkai indah layaknya pujangga asmara. Surat cinta romantis yaitu melalui buku-buku yang mengasah pemikiran. Dan realisasikan romantisme dalam bentuk perubahan diri menjadi lebih baik. Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh Akhmad Arqom dalam bukunya Manage Your Character, Control Your Habit and Get Success, “Cinta bukanlah hanya cita rasa dan kata-kata, tetapi ia adalah karya nyata.”

Penulis: Jamaluddin (jamal.anaksampang@gmail.com)

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Artikel · 15 Mei 2013 17:35 WIB ·

Benih Romantisme dalam Intelektualitas


 Benih Romantisme dalam Intelektualitas Perbesar

Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya, dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup.
– Film Habibie & Ainun

Sepanjang sejarah, kisah cinta identik dengan kemesraan antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebut saja kisah cinta yang sudah mendunia seperti Romeo dan Juliet. Label romantis dalam bingkai cinta seolah sudah melekat pada manusia, sehingga seakan-akan tanpa romantisme cinta itu hambar. Dalam kalangan mahasiswa fenomena romantisme di kampus mudah ditemui, tentunya dengan berbagai variasi. Ada yang masih wajar namun ada juga yang lebih ekstrem, yakni romantisme platonis dimana lebih mengutamakan pada hawa nafsu. Keadaan yang seperti ini perlahan menggeser peran dasar mahasiswa sebagai agent of control.

Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial yang khas. Tanggung jawab sosial ini tidak akan berfungsi jika mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ranah sosial di sekitarnya. Dan untuk mengetahui hal tersebut diperlukan transfer informasi dan transfer pemikiran sehingga fungsi mahasiswa sebagai agent of social control bisa berjalan dengan baik. Betapa pentingnya intelektualitas bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa selalu dilabelkan sebagai “kaum intelektual”. Namun jika kita melihat mahasiswa-mahasiswa romantis yang mengumbar cinta dalam balutan nafsu, apakah label ‘intelektual’ masih pantas?

Melihat peran mahasiswa sebagai kontrol sosial, fenomena romantisme di kampus perlu kiranya untuk dimonitor. Jangan sampai mahasiswa menjadi suatu kelompok yang melakukan aksi “lempar batu sembunyi tangan”. Mereka mampu mengontrol fenomena di sekitarnya, akan tetapi melupakan controling terhadap fenomena romantisme yang terjadi dalam internal kampus mereka. Romantisme di kalangan mahasiswa juga bukan merupakan hal yang baru. Dan merupakan tugas kita selaku generasi intelektual bangsa untuk melakukan “monitoring” dan “controling” terhadap hal tersebut, karena sesuatu yang tidak dikontrol bisa mendatangkan mudharat. Kontrol yang dilakukan bukanlah berupa kekangan terhadap romantisme, melainkan lebih kepada kontrol pemikiran dan paradigma terhadap romantisme itu sendiri.

Bernard Shaw pernah berujar “progress is impossible without change,and those who cannot change their minds cannot change anything.” (Peningkatan itu tidak mungkin tanpa adanya perubahan, dan mereka yang tidak bisa mengubah pikiran mereka tidak bisa mengubah apa pun). Pemikiran terhadap romantisme perlu dikaji lagi, mengingat pada praktiknya romantisme menjadi pedoman bagi mahasiswa yang ingin merealisasikan perasaannya kepada lawan jenis, yang kemudian bisa membawa pada hal-hal yang negatif.

“Orang yang terpelajar (Mahasiswa) harus berpikir adil sejak dari pemikiran, apalagi dengan perbuatan”. Jika kita mengamati perkataan Pramoedya Ananta Toer tersebut maka pemikiranlah yang terpenting. Pemikiran dasar dari mahasiswa tentang romantisme haruslah direkonstruksi kembali.

Hal ini sejalan dengan pendapat Albert Einstein yang mengatakan “we cannot solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them“. (Kita tidak dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan pemikiran yang sama saat kita membuat masalah tersebut). Sekali lagi, mindset menjadi pondasi yang harus diperkuat dalam mengartikan romantisme itu sendiri. Dan mahasiswa sebagai agent of change harus bisa mengubah mindset yang keliru terhadap romantisme menjadi mindset yang tepat.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengubah mindset mengenai romantisme ke arah yang positif. Mahasiswa yang merupakan kaum intelektual harus bisa memposisikan dirinya sebagai intelektual muda tanpa melupakan sisi romantis pada dirinya. Romantisme bukan lagi romantisme yang bersifat hedonis, yang hanya memikirkan kesenangan sesaat. Romantisme yang harus ada di benak mahasiswa adalah romantisme yang konstruktif dan membangun pemikiran mereka.

Kemudian, romantisme yang ada adalah sebagai sarana menuju intelektualitas. Dengan adanya cinta dan romantisme, jadikan itu sebagai motivasi untuk maju dan terus berkembang. Mc Donald mengatakan, “motivation is an energy change within the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reactions,” (motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan). Dengan menjadikan romantisme sebagai motivasi, dan meningkatnya intelektualitas sebagai tujuan, maka romantisme dan intelektualisme bisa berjalan berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.

Selanjutnya, jadikan organisasi sebagai wadah untuk menampung dan mengembangkan bibit intelektual dalam diri kita. Dengan menjadi aktivis di organisasi kampus maupun di luar kampus, setidaknya akan memberikan wawasan dan pengalaman yang lebih. Di samping itu bagi seorang aktivis, romantisme yang terjalin bukanlah melalui hal-hal yang tidak berguna, melainkan melalui diskusi-diskusi, kajian dan gerakan menuju perubahan.

Kembali lagi pada quotes pembuka tulisan ini yang diambil dari film Habibie dan Ainun, cinta dan kecerdasan, romantisme dan intelektual harus menyatu. Jika sebelumnya romantisme erat kaitannya dengan pacaran, maka sekarang romantisme adalah suatu bentuk realisasi dan pengokohan dari intelektualitas mahasiswa. Saat kedua lawan jenis bertemu dalam suatu tempat, jadilah pribadi yang romantis dan intelektualis di saat yang bersamaan. Jadikan diskusi dan sharing sebagai appetizer (pembuka) dari romantisme. Kemudian lanjutkan dengan kemesraan dan keselarasan dalam mencari solusi dari permasalahan kampus dan juga manusia yang bersifat plural.

Surat cinta bukan lagi melalui kata-kata yang dirangkai indah layaknya pujangga asmara. Surat cinta romantis yaitu melalui buku-buku yang mengasah pemikiran. Dan realisasikan romantisme dalam bentuk perubahan diri menjadi lebih baik. Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh Akhmad Arqom dalam bukunya Manage Your Character, Control Your Habit and Get Success, “Cinta bukanlah hanya cita rasa dan kata-kata, tetapi ia adalah karya nyata.”

Penulis: Jamaluddin (jamal.anaksampang@gmail.com)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Post Power Syndrome

6 Juni 2024 - 04:03 WIB

Adakan Pekan Berkah 2024, UPZ IAIN Madura sertakan Bazar dalam rentetan kegiatan.

Organisasi Kampus Sebagai Sarana Pendidikan Politik atau Ajang Perebutan Kekuasaan?

26 Mei 2024 - 14:45 WIB

Opini 26 Mei 2024

Kuliah: Nongkrong dengan Gaya

7 Mei 2024 - 03:36 WIB

Opini Anggota Magang LPM Activita

Politik Sakit Hati dalam Organisasi Kemahasiswaan Perlu Dihindari

23 April 2024 - 14:35 WIB

Catatan Usil Untuk LPM Activita

21 Februari 2024 - 00:38 WIB

LPM Activita

Apa Yang Salah dari Alat Kelamin Yang Tidak Menonjol

22 Juni 2023 - 04:37 WIB

Trending di opini