Activita.co.id- Awalnya saya merasa risih terhadap kajian-kajian yang mengangkat tema kesataraan gender, feminisme, atau female leadership. Saya merasa tema-tema tersebut secara tidak langsung telah menggiring opini bahwa perempuan butuh untuk disadarkan ulang mengenai kesetaraan mereka dengan laki-laki, perlu diberi pemahaman bahwa mereka bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh laki-laki, tapi lebih jauh kajian-kajian tersebut hanya terkesan mencekoki kaum perempuan (khususnya kalangan mahasiswa) bahwa perlawanan terhadap ketidaksetaraan perlu untuk terus dilakukan. Namun sayangnya ketidak setaraan ini (selalu) dari perspektif perempuan.
Bagi saya, kalau perempuan memang sudah setara, tak perlu lagi diadakan kajian-kajian untuk membangun kesadaran dalam diri mereka. Karena seharusnya kesadaran itu telah tertanam dalam hati kita –para perempuan–, kenapa kita harus menuntut kesetaraan kalau kita telah (merasa) setara?. Masalahnya disini adalah perempuan terkesan menuntut kesetaraan hanya pada ranah-ranah strategis yang dipegang oleh laki-laki, sedangkan mereka tidak memperhitungkan atau paling tidak melupakan bahwa ada banyak laki-laki yang bekerja dengan pekerjaan paling kasar dengan upah kecil demi istri mereka (yang hanya menjadi ibu rumah tangga), apa laki-laki tidak berhak menuntut kesetaraan dari perspektif mereka?.
Namun pandangan saya ini telah berubah total, saat saya tidak lagi mengenal kesetaraan gender, feminisme, atau female leadership melalui materi yang disampaikan pemateri-pemateri yang tidak kompeten dalam bidangnya, utamanya dalam menyampaikan tema yang diangkat. Saya katakan demikian karena mayoritas pemateri hanya menyampaikan penilaian mereka mengenai ketidaksetaraan versi mereka bukan bagaimana bisa (anggapan) ketidaksetaraan itu bisa timbul, berkembang dan diteriakkan dimana-mana, dan secara objektif telah menyudutkan perempuan ke tempat-tempat yang memang disediakan secara khusus; terpencil dan lembab. Dengan begitu tema-tema mengenai perempuan diterima sebagai sebuah penilaian subjektif, dengan alibi pengalaman adalah pelajaran terbaik.
Tiap pemateri memiliki pandangan yang berbeda mengenai kesetaraan, walaupun memang ada beberapa yang nyaris mirip, akibatnya ketidaksetaraan tidak lagi menjadi satu konsep atau wacana, ia menjadi sebuah argumen yang lahir dari banyak orang. Namun dengan menilik persoalan tersebut hanya dari perspektif perempuan akan menanamkan kesadaran seolah-olah ketidaksetaran ini lahir dari maskulinitas laki-laki, bukan ketidak mampuan perempuan untuk bersaing, atau ketidakpercayaan perempuan pada sesama perempuan.
Tapi ternyata dalam praktik lapangan, kesetaraan ini memang tidak bisa dianggap remeh seperti teori-teori yang telah dijabarkan panjang lebar sampai kita menguap dan tertidur. Kenyataanya, ada banyak perempuan yang jauh lebih berkualitas dari pada laki-laki namun ditutup kesempatannya untuk mencoba dan memulai hanya karena pemikiran dangkal yang digantungkan pada jenis kelamin. Perempuan dihambat, ditolak, atau malah disingkirkan hanya karena dianggap tidak bisa mengambil keputusan secara rasional, padahal kemampuan berpikir murni bergantung pada kapasitas otak, bukan perbedaan alat kelamin antara yang rata dan yang menonjol.
Mirisnya lagi, penilaian semacam ini juga tertanam pada perempuan. Diantara banyak pilihan yang bisa diambil, mereka memilih untuk meragukan golongannya sendiri; perempuan. Kualitas diri, kecakapan memimpin, dan kebijaksanaan tidak terikat pada seseorang hanya karena orang tersebut mampu mengangkat beban yang lebih banyak dari pada perempuan, hanya karena ia lebih jarang menangis dari pada perempuan, atau hanya karena ia tak perlu merasakan sakit seperti perempuan ketika menstruasi.
Sebagai perempuan saya rasa kita juga tak perlu menuntut kesataraan soal siapa yang seharusnya memimpin dalam rumah tangga, soal siapa yang lebih kuat mengangkat sebongkah batu besar, dan soal siapa yang lebih banyak berperan dalam pembuahan hingga sampai proses persalinan. Seharusnya memang tak menjadi soal kalau laki-laki lebih mampu mengangkat beban, pun demikian jika ternyata perempuan juga sama-sama mampu mengangkat beban tersebut. Yang menjadi soal adalah ketika kualiatas seseorang harus digantungkan pada jenis kelamin, sedangkan sejak awal kita tak pernah meminta dan menentukan dengan jenis kelamin apa kita akan lahir.
Kualitas seseorang, kemampuan ia memimpin, kebijaksanaan dalam dirinya harus dinilai secara jernih. Sehingga setiap peluang boleh dicoba oleh siapapun, entah laki-laki atau perempuan boleh memulai dan merancang. Alat kelamin yang rata dengan dua payudara sama sekali tidak menunjukkan kelemahan, atau ketidakmampuan bersaing dengan laki-laki dalam segi kualitas. Pun demikian alat kelamin yang menonjol dengan dada bidang sama sekali tidak menunjukkan atau memberikan interprestasi bahwa dalam segala hal laki-laki lebih pantas lebih dulu mengambil puluang, baru sisanya diserahkan pada perempuan. Sekali lagi, apa salahnya dengan alat kelamin yang tidak menonjol, kalau kita bisa menonjol dengan kualitas yang ada dalam diri kita.(Usrotul wafiyah/Activita)