Apa yang bisa kamu cermati mengenai anak rantau? Mungkinkah membayangkan kehidupannya yang serba irit, jauh dari kampung halaman, dan bahkan jauh dari dekapan orang tua? Menurutku, anak rantau adalah anak yang sedang menjalani suatu misi yang menantang atau bahkan sekedar memupuk rindu antar satu dengan lainnya. Mungkin terdengar nyaman di telinga orang lain. Namun apalah daya, hidup dengan ala kadarnya yang hanya nyaman di orang bahkan bagi mereka itu hal begitu menarik. Akan tetapi, bersyukur saja itu hal terpenting bagi kita untuk di persembahkan.
Sebenarnya, dalam menerka sesuatu hal ataupun perilaku lebih tepat apabila fokus pada tujuan dalam tindakan. Sebab, tak jarang dan tak banyak anak rantau bukan hanya terarah untuk mencari nafkah, ingin bebas atau ingin menjelajahi pengalaman, melainkan menuntut ilmu ke seberang pulau pun bagian dari itu.
Pada kenyataannya, tidak semudah membuka mata dalam menjalani kehidupan apalagi jauh dari orang tua. Namun, terdapat hikmah yang bisa di ambil dalam proses yang terpilih. Bukan tidak rindu, namun mencoba menyimpan harapan untuk bertemu. Karena, seindah apapun merencanakan sesuatu. Jika Allah SWT tidak berkehendak untuk mempertemukan, maka semua belum pasti.
Bagi yang pernah mengalami atau sedang menjalani hari-hari sebagai anak rantau, tentu banyak sekali mendengarkan pembicaraan orang-orang umumnya. Realitas sekarang, anak rantau di anggap sebagai orang yang berkehidupan ‘Halo’ di telefon dan transfer mengalir. Padahal, uang di peroleh tidak semudah berbicara dan menafsir sebelah mata. Walaupun seharusnya kita tidak perlu menggubris pendapat orang lain, tetapi bukan berarti kita hanya berdiam saja. Kita bisa mencoba memberikan mereka pemahaman, meskipun sebenarnya kita tau bahwa ini bagian dari ujian.
Oleh karena itu, kita harus sadar dalam menjalani kehidupan, perlu dan penting untuk bersyukur, sabar, ikhlas, dan memetik hikmah. Seperti pohon, dimana akar sebagai rasa bersyukur, batang sebagai rasa sabar, daun sebagai rasa ikhlas, dan buah sebagai hikmah.
“Jalani kehidupan di dunia ini tanpa membiarkan dunia hidup di dalam dirimu. Karena ketika perahu berada di atas air, ia mampu berlayar dengan sempurna. Tetapi ketika air masuk ke dalamnya, perahu itu tenggelam.” (Ali bin Abi Thalib).
Menjalani kehidupan seperti berlayar di atas kapal yang beralas air laut bukan hanya sesuatu yang bernilai minus dalam drama kehidupan, tetapi terdapat nilai plus menuju masa depan. Tidak hanya sebagai anak rantau yang menghadapi tantangan besar, namun semua manusia menghadapi tantangan. Akan tetapi, terdapat situasi baru, pembentukan pribadi baru, bertemu orang baru, bahasa baru, dan perjalanan baru. Pribadi bisa lebih mandiri, paham dalam bertanggung jawab terhadap kehidupan, bisa _memanage_ sesuatu dari segi waktu, uang, dan terpenting pergaulan.
Seiring berjalannya arus kehidupan, anak rantau tidak selamanya hidup dengan kesendirian di seberang pengabdian. Bisa di katakan berdiam dengan kerabat orang tua di perantauan. Keputusan seperti itu memang terkadang kehendak orang tua yang menginginkan putra-putrinya berkehidupan di kediaman seberang, namun tak jarang juga menjadi pilihan sendiri. Setiap orang tua, tentunya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Walaupun sering kali tidak sepemikiran dengan anaknya. Orang tua yang menginginkan anaknya jauh darinya, sudah pasti berat melepaskan.
Akan tetapi, di setiap pilihan tentu terdapat alasan. Bisa saja kediaman asal tidak aman dalam pergaulan, kurang berkembangnya pendidikan, dan mungkin ingin membuat anaknya terbentuk pendewasaan. Jika dilihat dari sisi pergaulan, saat di tempat yang baru mungkin bagi orang-orang di tempat asal telah di anggap berada di lingkungan yang cukup aman. Namun, keamanan tidak menjamin hanya pada pergaulannya saja, tetapi dari kebijaksanaan dalam mengontrol dan membatasi diri.
Kemudian, jika dilihat dari kurang berkembangnya pendidikan, saat di tempat asal mungkin dari segi pendidikan agama kurang. Maka dari itu, orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang agamis dan berada di jalan yang selamat dunia dan akhirat. Terakhir, jika dilihat dari harapan terbentuknya pendewasaan, mungkin selama bersama orang tua selalu bergantung dengan mereka. Oleh sebab itu, orang tua berharap anaknya bisa mandiri dan tahu arti bertanggung jawab, baik pada Tuhan, diri sendiri, orang tua, dan lingkungannya.
Penilaian itu dimulai dari mata, maka sangat penting bagi siapapun manusia untuk tidak berpendapat penuh di cover saja. Sudah seharusnya mulut dipergunakan berbicara, dengan sewajarnya saja. Ingatlah! Di atas badan masih memikul kepala, isi dari kepala penuh sejuta kerangka. Apabila bersikap semudah berbicara, maka khawatir akan banyak yang kecewa. Namun, apabila bersikap sesulit kerangka, maka kata apapun yang keluar dari mulut pasti dengan logika. Nah, perlu kita ketahui bahwa logika menjadi patokan utama dalam meneruskan penjelajahan kehidupan. Sebab, diambilnya pilihan sudah tentu dari keberlangsungan pemikiran.
“Keputusan yang berat di ambil oleh orang yang kuat.” (Slsrwt)