Fawaid (nomor dua dari kanan depan) bersama dengan peserta ARFI lainnya di Mesir. |
STAIN Pamekasan – Bertambah satu lagi dosen yang membawa nama STAIN Pamekasan hingga mancanegara. Dia adalah Fawaid. Setelah melewati proses seleksi yang ketat bersama ratusan pendaftar, pria asal Sumenep ini terpilih untuk mengikuti program pengembangan kapasitas dosen dari Kementerian Agama Dinas Pendidikan Tinggi Islam (Kemenag Diktis), yang bernama ARFI (Academic Recharging For Islamic Higher Education).
ARFI bertujuan untuk meningkatkan kualitas kelembagaan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), melalui kemitraan antar Perguruan Tinggi di luar negeri dan pemberdayaan kompetensi dosen dalam bidang akademik, riset, serta jejaring internasional.
Selama satu bulan (1-30/11), 30 orang yang mewakili PTAI dari seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta, bermukim di luar negeri. Negara penempatan dibagi menjadi 2 wilayah, sebanyak 15 orang ditempatkan di Mesir (arabic country) dan 15 lainnya di Austria dan Jerman (english countries). Sesuai dengan kompetensinya, Fawaid ditempatkan di Mesir.
Selain mengikuti serangkaian workshop di Al-Azhar, Fawaid juga berkunjung ke Qanar Swis University dan kampusIskandariyah. Diskusi ringan juga sempat ia lakukan dengan beberapa guru besar Al-Azhar.
Selama mengikuti dauroh (workshop), yang selalu ditekankan adalah beragama secara moderat. Moderatisme Al-Azhar tampak pada masjid yang ada di Luxor, salah satu kota tua di Mesir. Di dalamnya terdapat gambar-gambar Mesir kuno serta lukisan dan pahatan masa lalu. Sebelumnya masjid ini adalah candi, yang berubah menjadi gereja kemudian diubah menjadi masjid. Hal ini merupakan cerminan adanya kesadaran toleransi yang kuat di Mesir.
Terkait kerjasama kelembagaan, ia memang tidak mendapatkan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Al-Azhar. Bukan karena Al-Azhar tidak ingin bekerjasama, tapi orang-orang Mesir memang tidak terlalu suka dengan MoU. Kerjasama tetap bisa dilakukan, namun tidak hanya sebatas MoU, melainkan ada langkah konkrit. KBRI Mesir siap menjadi mediator jika kerjasama yang diajukan konkrit.
Fawaid mengaku senang bisa bertemu secara batiniyah dengan para ulama yang sudah wafat dan secara lahiriyah dengan para guru besar di Al-Azhar, disamping melihat peninggalan masjid yang pada mulanya merupakan pusat pendidikan keislaman.
Ulama besar Indonesia seperti Syekh Nawawi al-Banteni adalah produk dari masjid Al-Azhar. Fawaid mencari ruwakh jawi, tempat khusus seperti bilik kecil di dalam masjid yang digunakan oleh orang Indonesia untuk belajar keislaman. Ada beberapa ruwakh yang ia temukan, tapi ruwakh jawi sudah tidak ada lagi disana.
“Dari tempat yang sangat sederhana ini (ruwakh jawi) lahir ulama-ulama besar. Ternyata tempat bukan satu-satunya faktor keberhasilan mereka dalam belajar, yang terpenting adalah semangat. Al-Azhar itu tidak begitu bagus, namun tidak ada orang yang tidak kenal dengan Al-Azhar karena melahirkan para ulama besar,” sambungnya.
Ada dua hal penting yang ia pelajari dari perjalanannya. Pertama, mengembangkan bahasa asing, baik bahasa arab, inggris, maupun bahasa lain sangatlah penting. Menurutnya kemampuan berbahasa asing harus dimiliki oleh dosen dan mahasiswa. Kedua, apa yang ada di Mesir tidak terlalu berbeda dengan Indonesia, yang membedakan adalah kemauan dari diri sendiri.
“Pesan saya jangan merasa takut untuk mencoba, peluang sangat banyak baik bagi dosen ataupun mahasiswa untuk bisa melakukan aktifitas di luar negeri. Tidak harus dari kemenag, karena banyak kementerian ataupun lembaga yang memberikan peluang untuk bisa berkunjung ke luar negeri,” pungkasnya.
Sebelum kembali ke tanah air, Fawaid sempat bertemu dengan Forum Mahasiswa Madura dan pengurus cabang istimewa NU di Mesir. Wartawan senior kompas, Mustafa Abdurrahman yang berasal dari Pamekasan, juga tak luput dari lawatannya.
(SNJ)